like

Rabu, 16 November 2011

MAKALAH TAFSIR ISYARI / SUFI

A.    Selayang Pandang Tafsir Sufi
Penafsiran Sufi atas makna rahasia (batiniah) atas Al-Qur’an didasarkan pada perlambang, yang hanya bisa diungkap melalui kesucian. Tafsir sufi tidak terbatas hanya pada aspek lahiriah dan batiniah dari teks surat secara keseluruhan, ayat per ayat, tetapi juga menukik hingga ke tafsir atas huruf. Karena Al-Qur’an adalah Wahyu Allah, yang boleh dikatakan “merepresentasikan” segala Ilmu Allah, maka setiap huruf adalah ayat tersendiri yang melambangkan maksud tertentu. Rahasia-rahasia Al-Qur’an, mulai dari rahasia surat hingga ke rahasia huruf tak bisa diketahui melalui penalaran, tetapi melalui jalur lain, yakni mujahadah (jihad akbar) sampai seseorang mencapai mukasyafah dan musyahadah (kesaksian atas kenyataan batin).
Imam Ja’far as-Shadiq mengatakan bahwa “Awalnya terbersit ‘pikiran’ dalam diri Tuhan, sebuah niat, sebuah kehendak. Obyek dari pikiran ini, atau niat dari kehendak ini, adalah huruf-huruf yang menjadi prinsip segala hal; menjadi ‘indeks’ dari segala sesuatu dalam ciptaan. Dari huruf-huruf inilah segala sesuatu diketahui.” Rasulullah bersabda, “Semua ayat Al-Qur’an mengandung makna lahir dan batin. Setiap hurufnya memiliki makna tertentu, dan setiap huruf menyatakan secara tak langsung tempat kedudukannya (matla’).”
Al-Tirmidhi menyatakan bahwa semua ilmu ada dalam huruf-huruf karena asal-muasal ilmu sesungguhnya berasal dari Asma Agung Tuhan, yang melahirkan penciptaan dan pengaturan. Allah mengajari Adam pengetahuan dan akar pengetahuan. Pengetahuan itu terdiri dari “nama-nama”; akar pengetahuan adalah 28 huruf abjad [Arab]. Bahasa berakar pada huruf. Maka makna pengetahuan bukan hanya ditemukan dalam kalimat atau kata. Dua puluh delapan huruf Arab, menurut Muhyiddin Ibn ‘Arabi, adalah artikulasi (perwujudan) dari prinsip tunggal, yang masing-masing terkait dengan Nama Ilahi. Jadinya setiap bentuk dasar huruf mengindikasikan makna.
Allah meletakkan pengetahuan ma’rifat “nama-nama” ke dalam hati Adam. Tempat di mana nama-nama itu mengambil bentuk (taswir) adalah di dada. Kemudian mereka diterjemahkan [ke dalam bentuk suara] melalui tenggorokan dan bibir. Dalam huruf-huruf itu tersimpan pengetahuan pengetahuan primordial (ilm al-bad’), pengetahuan Asma Agung Allah, juga ilmu pengaturan oleh Allah (ilm al-tadbir) yang meliputi ilmu dari Nabi Adam sampai Hari Kiamat. Nama adalah penanda atas sesuatu, sedangkan sifat (atribut) adalah penjelasan yang datang dari sesuatu itu. Nama adalah untuk bahasa, sifat adalah untuk penglihatan dan pemahaman.
Tetapi jika Allah adalah tersembunyi, tak bisa disentuh, dilihat, dirasakan, dicium atau dipahami, maka bagaimana mungkin manusia bisa mengetahui atau melihat sesuatu itu? Allah tidak bisa dipahami dengan perasaan, sentuhan, penglihatan dan sebagainya, karena Dia adalah “Perbendaharaan Tersembunyi” yang Maha Gaib. Oleh karenanya, sebelum Dia menciptakan dunia, Dia memperlihatkan sifat-Nya demi kepentingan hamba-Nya. Setiap sifat ini kemudian diekspresikan dalam kombinasi huruf-huruf yang menjadi Asma al-Husna. Nama yang berasal dari atribut/sifat dan Allah bisa dideksripsikan karena ada sifat yang memancar ini (lihat Bab 2). Nama dan sifat hadir agar lidah bisa mengucapkannya hingga menjadi suara. Nama dan sifat, sebagai bentuk penjelasan, adalah seperti “cahaya yang menerangi langit dan bumi” sehingga segala sesuatu yang ada dalam ciptaan menjadi jelas — “Allah adalah cahaya langit dan bumi.”
Melalui huruf-huruf inilah Allah menampakkan diri kepada hamba-Nya, seperti dinyatakan oleh Imam Ja’far: “Allah memperlihatkan Diri-Nya kepada hamba-Nya dalam kitab-Nya, namun mereka tidak melihat-Nya,” yakni memperlihatkan Diri-Nya dalam rahasia di balik huruf-huruf Kitabullah. Dengan demikian, untuk mengenal-Nya (ma’rifat), kita mesti membaca Al-Qur’an dalam pengertian mistis ini. Jadinya, Iqra’, bacalah, yakni siapa saja yang membaca Al-Qur’an dan Asma-Nya, ia laksana menyambungkan cahaya pengetahuan dari lidahnya ke Sumbernya. Dalam analisis terakhir, ada hubungan penting antara pensucian jiwa, membaca Al-Qur’an, dan pengetahuan Allah: Seseorang yang telah mensucikan diri dari segala hawa nafsu, ia akan “mengalirkan” khasanah Ilmu Allah ke dalam dirinya melalui perantaraan Al-Qur’an. Ia akan dikaruniai pengetahuan tentang makna lahir dan batin dari Al-Qur’an. Karena itu, dapat dipahami jika Nabi dan Wali Allah memiliki pemahaman tentang Al-Qur’an yang tidak dipahami oleh manusia biasa. Karenanya, menurut Al-Hakim al-Tirmidhi, salah satu tanda Wali Allah adalah ia menguasai ilmu huruf. Ilmu huruf ini dianggap kunci bagi semua ilmu lainnya.
Turunnya Wahyu Al-Qur’an dalam bentuk huruf-huruf adalah semacam transformasi dari dunia yang “tak diciptakan” atau tak dapat dipahami menjadi dunia yang “terciptakan” atau dapat dipahami. Abjad Arab — yang merupakan bahasa Al-Qur’an — terdiri dari 28 huruf, yang terbagi menjadi dua bagian, 14 huruf-huruf yang  jelas dan 14 huruf-huruf yang tersembunyi (dalam ilmu tajwid ini dinamakan huruf syamsiyyah dan qamariyyah). Huruf yang berkaitan dengan dunia “yang tak terciptakan” adalah huruf-huruf misterius yang menjadi awal dari 29 surat. Huruf-huruf itu tidak “divokalkan” – misalnya ayat pertama surat al-Baqarah dibaca alif, lam, miim dibaca tanpa harakat (penanda vokal). Semua ayat Al-Qur’an bisa “dibaca” karena divokalkan, kecuali huruf-huruf pembuka beberapa surat, yang hanya bisa “dieja.” Huruf-huruf misterius ini menjadi daya tarik tersendiri bagi para Sufi.
Diriwayatkan bahwa Sayyidina Abu Bakar as-Shiddiq pernah mengatakan bahwa rahasia dalam Al-Qur’an terkandung dalam huruf-huruf fawatih atau muqatta’at (huruf-huruf yang misterius artinya yang ada di ayat pembuka beberapa surat Al-Qur’an). Interpretasi esoteris (mistis) atas huruf Arab tidak bisa dilakukan kecuali dengan menyertakan aritmologik (nilai numerik atau angka pada setiap huruf). Syekh Ahmad al-Buni dalam Kitab Syams al-Ma’arif al-Kubra menjelaskan: “Rahasia-rahasia Tuhan dan obyek Ilmu-Nya … adalah dua macam, yakni huruf dan angka. Angka adalah realitas tertinggi yang berbasis spiritual, sedangkan huruf berasal dari alam material dan malakut. Angka adalah rahasia kata, dan huruf adalah rahasia tindakan.” Dengan kata lain angka melambangkan dunia spiritual dan huruf melambangkan dunia jasmaniyah. Nilai numerik dari masing-masing huruf itu adalah sebagai berikut:

B.     Pengertian Tafsir Isyari/Sufi
Sesuai dengan latar belakang di atas, bahwasannya corak penafsiran tasawuf / sufi disebut juga tafsir isyari / isyarah.
Secara leksikal, kata tafsīr (Bahasa Arab) merupakan bentuk masdar dari fassara (fi’il mādhī), yang akar katanya terdiri dari fa’, sin, dan ra’. Pada dasarnya, kata yang tersusun dari akar kata semacam itu memiliki makna menerangkan sesuatu atau menjelaskannya.8 Sedangkan bentuk masdar-nya berarti keterangan atau penjelasan.
Adapun kata isyārī (B. Arab),  jika ditinjau dari bentuknya merupakan verbal noun (masdar) yang kemudian mendapat tambahan ya’ al-nisbah di akhir kata. Secara leksikal kata tersebut berasal dari asyara – yasyiru – isyāratan, yang bermakna al-dalīl (tanda, indikasi, dan petunjuk), juga bisa bermakna menunjukkan dengan tangan atau dengan akal, mengeluarkan sesuatu dari lubang, mengambil sesuatu, dan menampakkan sesuatu.
Berdasarkan telaah makna-makna lafaz di atas, maka sederetan makna tersebut berimplikasi pada pengertian  lafadz  isyārī yang memiliki kecenderungan upaya untuk menunjukkan sesuatu yang tersembunyi agar bisa diketahui secara jelas, atau lebih menonjolkan makna yang tersirat daripada makna tersurat. Kata tersebut bisa dijumpai dalam al-Qur’an hanya sekali,11 yaitu dalam Surah Maryam ayat 29.
ôNu$x©r'sù Ïmøs9Î) ( (#qä9$s% y#øx. ãNÏk=s3çR `tB šc%x. Îû ÏôgyJø9$# $wŠÎ6|¹ ÇËÒÈ
Artinya: “maka Maryam menunjuk kepada anaknya. Mereka berkata: "Bagaimana kami akan berbicara dengan anak kecil yang masih dalam ayunan?"

Telaah kebahasaan sebagaimana di atas juga mengindikasikan adanya pemahaman tentang sesuatu yang menunjukkan untuk memperoleh kejelasan, yakni dari asalnya tidak tahu bisa menjadi tahu, dari yang tidak tampak menjadi tampak, dari yang tersembunyi atau samar bisa menjadi terlihat, dari yang abstrak menjadi konkret, dan dari yang terpendam menjadi di luar (berada pada permukaan). Dengan demikian, secara etimologi, tafsir Isyāri memiliki makna tafsir yang mengungkapkan makna atau maksud yang terpendam atau tersembunyi dalam lafaz atau ayat al-Qur’an dengan kedalaman berpikir bahkan dengan zauq (perasaan hati) yang extravagansa.
Secara terminologi, tafsir Isyāri, menurut al-Shābūnī, adalah takwil al-Qur’an yang berbeda dengan lahirnya lafaz atau ayat, karena untuk isyarah-isyarah yang sangat rahasia, yang hanya diketahui oleh sebagian ulū al-‘ilm atau ‘ārifīn (orang yang makrifat kepada Allah) dari orang yang telah diterangi mata hatinya oleh Allah, sehingga mereka mampu menemukan rahasia-rahasia yang tersembunyi dibalik ayat-ayat al-Qur’an. Atau bahkan bagian makna-makna yang detail itu tertuang dalam hati mereka lantaran ilham ilahi, yang mana hal itu memungkinkan mereka untuk mempertemukan makna tersebut dengan makna lahirnya.
Menurut sebagian ulama, ilmu sebagaimana dimaksudkan di atas bukanlah seperti “ ‘ilm al-kasbī” yang bisa didapat dengan cara membaca, mengingat dan menghafal, akan tetapi hal itu lebih merupakan “ilmu laduni”, yakni ilmu pemberian yang boleh dikata sebagai pancaran dari ketajaman takwa, istiqomah dan kebajikan.
 Menurut al-Zahabī, tafsir isyārī adalah hasil riyādhah rūhiyah seorang sufi sehingga bisa menyingkap rahasia-rahasia dan i’tibar dalam wujud isyarat yang suci yang muncul dengan sendirinya di dalam hatinya sebagai ungkapan dari terkuaknya rahasia ayat-ayat karena makrifat kepada Allah
Di antara kelompok sufi (tasawuf) ada yang mendakwakan bahwa riyadhah (latihan) ruhani yang dilakukan seorang sufi bagi dirinya akan menyampaikan ke suatu tingkatan di mana ia dapat menyikapkan isyarat-isyarat qudus yang terdapat di balik ungkapan-ungkapan Qur’an, dan akan tercurah pula ke dalam hatinya dari limpahan ghaib, pengetahuan subhani yang dibawa ayat-ayat itulah yang disebut Tafsir al-Isyari.
Pendapat yang lain mengenai pengertian tafsir isyari/sufi seperti yang diungkapkan oleh para ulama, yaitu sebagai berikut :
Tafsir Isyari adalah tafsir yang menta`wilkan ayat tidak menurut zahirnya namun disertai usaha menggabungkan antara yang zahir dan yang tersembunyi.”
Manna Khalil al-Qattan dalam kitabnya Al-‘Ulum Al-Qur’an menyatakan bahwa setiap ayat mempunyai makna zahir dan makna batin (tersembunyi). Makna zahir ialah segala sesuatu yang segera mudah dipahami akal pikiran sebelum lainnya, sedangkan makna batin adalah isyarat-isyarat tersembunyi di balik itu yang hanya nampak dan diketahui maknanya oleh para ahli tertentu (ahli suluk).
Tafsir al-Isyari sebagai:“Penafsiran al-Qur`an yang berlainan menurut zahir ayat karena adanya petunjuk-petunjuk yang tersirat dan hanya diketahui oleh sebagian ulama, atau hanya diketahui oleh orang yang mengenal Allah yaitu orang yang berpribadi luhur dan telah terlatih jiwanya (mujahadah)” dan mereka yang diberi sinar oleh Allah sehingga dapat menjangkau rahasia-rahasia al-Qur`an , pikirannya penuh dengan arti-arti yang dalam dengan perantaraan ilham ilahi atau pertolongan Allah, sehingga mereka bisa menggabungkan antara pengertian yang tersirat dengan maksud yang tersurat dari ayat al-Qur`an.”
Ulama Aliran tasawuf praktis mengartikan Tasfir al-Isyarat sebagai tafsir yang menakwilkan al-qur’an dengan penjelasan yang berbeda dengan kandungan tekstualnya, yakni berupa isyarat-isyarat yang hanya dapat ditangkap oleh mereka yang sedang menjalankan suluk (perjalanan menuju Allah). Namun, terdapat kemungkinan untuk menggabumgkan antara penafsiran tekstual dan penafsiran isyarat itu..
Dengan kata lain Tafsir al-Isyari adalah suatu tafsir di mana mufassir berpendapat dengan makna lain tidak sebagai yang tersurat dalam al-Qur`an, tetapi penafsiran tersebut tidak diketahui oleh setiap insan kecuali mereka yang hatinya telah dibukakan dan disinari oleh Allah, yakni orang-orang yang saleh yaitu mereka yang telah dikaruniai pemahaman dan pengertian dari Allah (al-Rasikhun). Sebagaimana difirmankan oleh Allah sehubungan dengan kisah Nabi Khidhir dengan Nabi Musa AS:

#yy`uqsù #Yö6tã ô`ÏiB !$tRÏŠ$t6Ïã çoY÷s?#uä ZpyJômu ô`ÏiB $tRÏZÏã çoY÷K¯=tæur `ÏB $¯Rà$©! $VJù=Ïã ÇÏÎÈ
Artinya: Lalu mereka bertemu dengan seorang hamba di antara hamba-hamba Kami, yang telah Kami berikan kepadanya rahmat dari sisi Kami, dan yang telah Kami ajarkan kepadanya ilmu dari sisi Kami.

Allah telah menganugerahkan ilmu-Nya kepada Khidhir tanpa melalui proses belajar sebagaimana yang dilakukan oleh orang-orang biasa. Ia memperoleh ilmu karena ketaatan dan kesalihannya. Ia jauh dari maksiat dan dosa. Ia senantiasa mendekatkan diri kepada Allah. Dalam kesuciannya, Khidhir diberikan ilmu dari sisi-Nya yang dinamakan ilmu ladunni menggunakan pendekatan qalbi (hati) atau rasa.
Tafsir semacam ini tidak termasuk dalam kategori ilmu hasil usaha/ penemuan (kasabi atau nazari) yang dapat dicapai dengan pemikiran dan penelitian yang mendalam tetapi termasuk ilmu ladunni yaitu pemberian sebagai akibat dari ketaqwaan, keistiqamahan dan kebaikan seseorang.

C.    Pendapat ‘Ulama tentang Tafsir Isyari
Para Ulama berbeda pendapat mengenai Tafsir al-Isyari, di antaranya ada yang membenarkan dan menganggap sebagai tafsir maqbul (diterima) , dan ada yang tidak membenarkankannya dan menganggap sebagai tafsir mardud (ditolak). Ada yang beranggapan sebagai kesempurnaan iman dan kebersihan kema`rifatan, ada pula yang berasumsi sebagai suatu penyelewengan dan penyesatan dari ajaran Allah SWT.
Pembahasan ini sangat rumit dan memerlukan penelitian dan penyelidikan yang sungguh-sungguh, teratur dan memerlukan penyelaman yang sangat mendalam. Seandainya tujuan dari tafsir ini adalah mengikuti hawa nafsu dan hanya mempermainkan ayat-ayat Allah sebagaimana yang dilakukan oleh aliran kebatinan maka tafsir semacam ini termasuk zindik dan anti Tuhan (atheis). Sebaliknya, apabila tujuan tafsir untuk menunjukkan bahwa kalam Allah tidak dapat dikuasai oleh manusia karena merupakan ucapan dari Sang pencipta segala kekuatan dan kemampuan, serta mengandung beberapa pengertian dan rahasia, hal itu termasuk pemurnian ma`rifat dan kesempurnaan iman, sebagaimana dikatakan oleh ibnu `Abbas,”Al-Qur`an mengandung berbagai budaya dan ilmu yang lahir maupun batin, keajaiban tidak akan habis dan puncak tujuannya tidak akan terjangkau.”Barang siapa yang menyelaminya dengan penuh kelembutan niscaya akan selamat dan barang siapa yang menyelaminya dengan cara radikal niscaya akan terjerumus. Al-Qur`an mengandung berita dan perumpamaan, halal dan haram, nasikh dan mansukh, muhkam dan mutasyabbih yang lahir dan batin. Secara lahir berupa bacaan dan secara batin berupa takwil. Belajarlah dari ulama dan jauhilah orang-orang bodoh.” [32]
Berkata Imam Az Zarkasyi dalam Al Burhan: Perkataan orang-orang sufi dalam tafsir Qur’an adalah bukan tafsir.
Menurut Sufi, kemampuan seseorang dalam memahami makna Al-Qur’an amat bergantung kepada derajat dan kualitas keruhanian. Imam Ja’far as-Shadiq mengatakan bahwa Kitab Allah meliputi empat perkara: ibarat, isyarat, lathaif dan haqaiq. Ibarat adalah bagi orang awam, isyarat adalah bagi orang khusus, lathaif adalah bagi para Wali Allah, dan haqaiq adalah bagi para Nabi.
Sedangkan ulama’ yang membolehkan, menetapkan beberapa syarat-syarat diterimanya tafsir bil-isyari. Syarat-syarat itu antara lain:
1.      Tidak bertentangan atau meniadakan makna lahir (pengetahuan tekstual) ayat Al-Qu’an
2.      Tidak menyatakan bahwa makna isyarat itu merupakan makna sebenarnya (makna satu-satunya) yang dikehendaki Allah, tanpa ada pengertian makna zhahir
3.      Hendaknya takwil yang digunakan tidak terlalu jauh, sehingga tidak sesuai dengan lafadz
4.      Tidak bertentangan dengan syari’at maupun akal
5.      Dalam takwilnya tidak menimbulkan keraguan pemahaman manusia.
Sebagaimana panafsiran tasawuf praktis mengenai firman Allah:
y^Íurur ßyJøŠn=ß yŠ¼ãr#yŠ ( tA$s%ur $yg•ƒr'¯»tƒ â¨$¨Z9$# $oYôJÏk=ãæ t,ÏÜZtB ÎŽö©Ü9$# $uZÏ?ré&ur `ÏB Èe@ä. >äóÓx« ( ¨bÎ) #x»yd uqçlm; ã@ôÒxÿø9$# ßûüÎ7ßJø9$# ÇÊÏÈ
Atinya: Dan Sulaiman Telah mewarisi Daud, dan dia berkata: "Hai manusia, kami Telah diberi pengertian tentang suara burung dan kami diberi segala sesuatu. Sesungguhnya (semua) Ini benar-benar suatu kurnia yang nyata".

Menurut mereka bahwa Ali Bin Abi Thalib dan para sahabat lainnya adalah pewaris Ilmu Nabi SAW. Apabila syarat-syarat ini terpenuhi maka penafsiran secara Isyari dapat diterima dan merupakan istinbath yang baik.Tanpa syarat-syarat tersebut di atas, tafsir Isyari tidaklah dapat diterima yang berarti termasuk tafsir berdasarkan hawa nafsu dan ra`yu semata, yang dilarang. Allahlah yang memberikan taufik dan hidayah menurut jalan yang benar.
Tafsir al-Isyari jika bercampur dengan hal-hal yang samar-samar (tasyabbuh) ia akan menjadi pemahaman yang salah dan sesat. Tetapi selama merupakan kajian dan penelitian (istinbat) yang benar dan sesuai dengan kaedah-kaedah kebahasaan atau yang ditunjuk oleh zahir ayat serta didukung oleh bukti kesahihannya tanpa adanya pertentangan (mukhalafah), maka ia dapat diterima.
Kitab-kitab Tafsir bil-isyari yang terkenal:
1.     Tafsir Al Qur’an Al Karim, oleh: Sahal bin Abdullah At Tistari
2.     Haqaiqut Tafsir, oleh: Abu Abdurrahman As Sulami
3.     Al Kasf wal Bayan, oleh: Ahmad bin Ibrahim An Naisaburi
4.     Tafsir Ibnu ‘Arabi, oleh: Muhyiddin Ibnu ‘Arabi
5.     Ruhul Ma’ani, oleh Syihabuddin Al Alusi
Selayang Pandang Kitab Tafsir bil-isyari:
·         Tafsir Ruhul Ma’ani
Pengarangnya adalah Syihabuddin Sayyid Mahmud Alusi, wafat tahun 1270H. Beliau adalah mufti di Baghdad, yang juga terkenal sebagai seorang pujangga, ulama, ahli hikmah dan ma’rifah, serta memiliki pemahaman dan ilmu yang cukup luas. DR. Muhammad Husain Adz Dzahabi dalam At Tafsir wa Al Mufassirun, memasukkan kitab ini dalam kategori tafsir bir-ra’yi, sedangkan Syaikh Muhammad Ali Ash Shobuni dalam At Tibyan memasukkan tafsir ini dalam kategori tafsir bir-ra’yi dan bil-isyari sekaligus.
Dalam kitab ini beliau mengumpulkan pendapat-pendapat salafush shalih baik secara riwayah maupun dirayah. Di dalamnya juga memuat beberapa pendapat ahli ilmu, dan dilengkapi dengan tafsir-tafsir terdahulu. Disamping itu, beliaupun sangat berhati-hati terhadap riwayat israiliyat, melengkapinya dengan tafsir isyari dan banyak menyinggung tentang balaghah dan bayan. Boleh dibilang tafsir ini merupakan literatur utama dalam ilmu tafsir bir-riwayah, bid-dirayah maupun bil-isyari.

D.    Contoh-contoh tafsir Isyari / Sufi
Ada beberapa contoh Tafsir Al-Isyari yang disebutkan para ahli tafsir, di antaranya :
Manna Khalil Qattan mengemukakan contoh untuk ini adalah Riwayat Ibnu Abbas di mana ia berkata : “Umar RA mengajakku bergabung bersama tokoh-tokoh pertempuran Badar. Di antara mereka ada yang keberatan dana berkata, “mengapa engkau mengajak anak kecil ini bersama kami padahal kami mempunyai beberapa anak yang seusia dengannya? “Umar menjawab, “Ia adalah orang yang kau kenal kepandaiannya. Pada suatu ketika aku dipanggil untuk bergabung dalam kelompok mereka. Ibnu `Abbas berkata, “Aku berkeyakinan bahwa Umar memanggilku semata-semata untuk diperkenalkan kepada mereka. Umar berkata, “ Apakah pendapat kalian tentang firman Allah :
#sŒÎ) uä!$y_ ãóÁtR «!$# ßx÷Gxÿø9$#ur ÇÊÈ
Artinya: Apabila telah datang pertolongan Allah dan kemenangan,
Di antara mereka yang menjawab, “ Kami diperintahkan untuk memuji dan meminta kepada Allah ketika mendapat pertolongan dan kemenangan. “ Sahabat yang lain bungkam dan mengatakan apa-apa. Umar melemparkan pertanyaan kepadaku, “Begitukah pendapatmu Ibnu `Abbas ? Aku menjawab,
“ Ayat itu menunjukkan tentang ajal Rasulullah SAW yang diberitahukan Allah SWT kepadanya”.
ôxÎm7|¡sù ÏôJpt¿2 y7Înu çnöÏÿøótGó$#ur 4 ¼çm¯RÎ) tb%Ÿ2 $R#§qs? ÇÌÈ
Artinya : Maka bertasbihlah dengan memuji Tuhanmu dan mohonlah ampun kepada-Nya. Sesungguhnya Dia adalah Maha Penerima taubat.

Umar menjawab, “ Aku tidak tahu pengertian ayat tersebut, kecuali yang engkau jelaskan “ (Hadist Riwayat Bukhari).
Berdasarkan riwayat di atas jelas menunjukkan bahwa pemahaman Ibnu `Abbas ini tidak bisa dikuasai oleh sahabat-sahabat yang lain. Yang memahaminya hanyalah Umar RA dan Ibnu `Abbas sendiri. Inilah bentuk Tafsir Al-Isyari yang diilhamkan Allah kepada makhlukNya yang dikehendaki untuk diperlihatkan kepada hamba-hamba lainnya, yakni surat Al-Nashr tersebut menyatakan berita wafat Nabi SAW dan menunjukkan dekatnya ajal beliau.
Misalnya sebuah Hadist yang menyebutkan bahwa pada ketika Nabi SAW berkhutbah di hadapan orang ramai. Di antara khutbahnya tersebut beliau mengemukakan : “Bahwasannya Allah menyuruh seorang hamban-Nya untuk memilih seluruh isi dunia ini atau apa yang ada disisi-Nya. Kemudian Ia memilihnya memilihnya yang ada dekat-Nya. Abu Bakar menangis (dalam satu riwayat ia mengatakan, “Kami menebusmu ya Rasulullah dengan nenek moyang kami). Kami merasa heran terhadap Abu Bakar yang menangis. Setelah wafatnya Rasulullah SAW, kami mengetahui bahwa Abu Bakar adalah orang yang terpilih dan kenyataan memang Abu Bakar yang terpandai di antara kami.”
Dalam kasus diatas sangat jelas terlihat bahwa sahabat Abu Bakar RA telah dapat memahami arti sabda Nabi SAW secara tersirat atau isyarat yang tidak bisa dijangkau pemahaman tersebut oleh para sahabat lainnya.
Cuplikan contoh yang lain seperti yang terdapat dalam tafsir Ibnu ‘Arabi, oleh: Muhyiddin Ibnu Araby yang terdapat dalam surat Yaasin ayat 45-47 dibawah ini:
#sŒÎ)ur Ÿ@ŠÏ% ãNßgs9 (#qà)®?$# $tB tû÷üt öNä3ƒÏ÷ƒr& $tBur ÷ä3xÿù=yz ÷ä3ª=yès9 tbqçHxqöè? ÇÍÎÈ
Artinya : Dan apabila dikatakan kepada mereka: “Takutlah kamu akan siksa yang di hadapanmu dan siksa yang akan datang supaya kamu mendapat rahmat”, (niscaya mereka berpaling).
Dan apabila dikatakan kepada mereka: “Takutlah kamu akan apa yang di hadapanmu”  berupa kiamat Kubro, dan siksa yang akan datang, (berupa kiamat shughro). Kiamat yang pertama dating dari arah Allah Azza wa-Jalla, sedangkan kiamat kedua datang dari arah diri melalui fana’ dalam Allah swt, di dunia, berikutnya menyendiri dari situasi dan kondisi fisik dan menyemalatkan diri darinya.  Agar kamu mendapat rahmat”,
$tBur NÍkŽÏ?ù's? ô`ÏiB 7ptƒ#uä ô`ÏiB ÏM»tƒ#uä öNÍkÍh5u žwÎ) (#qçR%x. $pk÷]tã tûüÅÊ̍÷èãB ÇÍÏÈ
Artinya : Dan sekali-kali tiada datang kepada mereka suatu tanda dari tanda-tanda kekuasaan Tuhan mereka, melainkan mereka selalu berpaling daripadanya.
Dan sekali-kali tiada datang kepada mereka suatu tanda dari tanda-tanda kekuasaan Tuhan mereka, melainkan mereka selalu berpaling daripadanya. (Mereka berpaling karena tertirai hijab, yang menimbulkan kontra kepada Allah swt, sebab nafsu mereka mengkristal dalam hijab itu sendiri sehingga mereka tersiksa.)
#sŒÎ)ur Ÿ@ŠÏ% öNçlm; (#qà)ÏÿRr& $£JÏB âä3x%yu ª!$# tA$s% tûïÏ%©!$# (#rãxÿŸ2 tûïÏ%©#Ï9 (#þqãZtB#uä ãNÏèôÜçRr& `tB öq©9 âä!$t±o ª!$# ÿ¼çmyJyèôÛr& ÷bÎ) óOçFRr& žwÎ) Îû 9n=|Ê &ûüÎ7B ÇÍÐÈ
Artinya : Dan apabila dikatakan kepada mereka: “Nafkahkanlah sebahagian dari rezki yang diberikan Allah kepadamu”, maka orang-orang yang kafir itu berkata kepada orang-orang yang beriman: “Apakah kami akan memberi makan kepada orang-orang yang jika Allah menghendaki tentulah Dia akan memberinya makan, tiadalah kamu melainkan dalam kesesatan yang nyata”.
Dan apabila dikatakan kepada mereka: “Nafkahkanlah sebahagian dari rezki yang diberikan Allah kepadamu”, maka orang-orang yang kafir itu berkata kepada orang-orang yang beriman: “Apakah kami akan memberi makan kepada orang-orang yang jika Allah menghendaki tentulah Dia akan memberinya makan, tiadalah kamu melainkan dalam kesesatan yang nyata”.
Mereka tersesat karena mereka berkata dari kegelapan jiwanya. Kegelapan nafsu dan jasad, yang terus menerus membangun sikap sinis kepada Ketuhanan Allah swt., kekuasaanNya dan RahmatNya.
Bahasa-bahasa yang keluar dari diri mereka adalah bahasa nafsu, bahasa kesombongan, bahasa pengandalan pada “keakuan” yang telah menjadi berhala bagi mereka sendiri.
Dalam contoh yang lain, seperti yang diungkapkan oleh para sufi Menurut para Sufi, huruf-huruf misterius yang “tak bermakna” itu dianggap mengandung ilmu-ilmu Allah yang diturunkan secara langsung dengan sangat cepat sehingga bahkan malaikatpun tak sempat memahami artinya. Dalam riwayat diceritakan ketika Jibril menurunkan ayat pertama Surat Maryam, Kaaf, haa, yaa, ‘ain, shaad, Nabi berkata, “Aku tahu artinya,” tetapi Jibril bertanya, “Bagaimana engkau tahu sesuatu yang aku tak tahu?” Melalui ilmu huruf dan angka ini para Sufi melahirkan pandangan yang eksotis tentang Al-Qur’an.
Misalnya, huruf-huruf awal awal surat Maryam ditafsirkan sebagai perlambang dari Asma al-Husna:
Kaaf   = al-Kafi
Haa    = al-Hadi
Yaa    = al-Yaqin
‘Ain   = al-‘Alim
Shad = as-Shadiq
Karenanya, huruf-huruf ini mengandung makna dan “berkah” tertentu dari khasanah Asma-Nya, yang hanya bisa diketahui oleh para ahli-kasyaf. Sayyidina Ali ibn Abi Thalib menggunakan huruf-huruf ini sebagai wasilah untuk berdoa: Wahai Kaaf, Haa, Yaa, ‘Ain, Shaad, aku berlindung kepada-Mu dari dosa yang menyebabkan murka-Mu … Ya Allah tolonglah aku melawan diriku sendiri.” Demikian pula Sayyid Abu Hasan as-Syadzili berdoa dengan menggunakan huruf-huruf: “Qaaf, Jiim, adalah dua rahasia bersama-Mu. Keduanya menunjukkan kepada selain-Mu. Maka, dengan rahasia yang menyeluruh yang menunjukkan kepada-Mu, janganlah Engkau biarkan aku menuju selain-Mu. Engkau Mahakuasa atas segala sesuatu.”
Sebagai ilustrasi, berikut sedikit contoh tentang tafsir oleh para Sufi. Pertama kita ambil contoh ayat awal Surat Al-Fatihah yang merupakan induk Al-Qur’an, yakni ayat bismillahi ar-rahman ar-rahim. Untuk contoh pertama, di bawah ini hanya akan disajikan sedikit saja contoh tafsir kalimat “bismillah” disebabkan oleh keterbatasan tempat dalam buku ini.
Surat ini oleh Al-Qur’an sendiri (Q.S. 15:87) disebut “Tujuh yang diulang” (sabt al-matsani) sebab Al-Fatihah terdiri dari tujuh ayat yang dibaca berulang-ulang dalam shalat. Dalam al-Fatihah terdapat seluruh huruf kecuali tujuh huruf:
za, kho, dzho, tsa’, syin, jim, fa
Sebagian Sufi menyatakan bahwa Asma Paling Agung (Ism al-Adzam) Allah terkandung dalam huruf-huruf ini.
Dalam sebuah tafsir lain dikatakan bahwa semua yang tercantum dalam Al-Qur’an ada dalam Al-Fatihah, dan semua yang ada dalam Al-Fatihah ada di dalam bismillahi ar-Rahman ar-Rahim (kalimat basmalah), dan semua yang ada di dalam kalimat basmalah itu ada dalam huruf ba’, dan huruf ba’ itu sendiri terkandung di dalam titik yang berada di bawahnya. Titik adalah asal-usul dari segala huruf. Menurut suatu riwayat, Sayyidina Ali ibn Abi Thalib mengisyaratkan tafsir ini dalam ucapan saat beliau mengalami fana: Anaa nuqtatu ba–i bismillah (Aku adalah titik huruf ba’ dalam bismillah).
Kalam Ilahi dimulai dengan bismillahi — “Dengan menyebut Nama Allah” — yang diawali bukan oleh huruf alif (yang bernilai 1) tetapi oleh huruf ba’, yang bernilai 2. Kalimat bismi asalnya adalah bi-ism, yakni ada alif di antara ba’ dan sin. Alif, yang bernilai 1, melambangkan Zat yang Maha Esa dan Tak Terpahami (Transenden). Alif, perlambang Zat Maha Gaib dan wujud primer (wujud al-awwal) “disembunyikan” dalam huruf ba’ yang melambangkan manifestasi atau perwujudan (zuhur) atau eksistensi kedua (wujud al-tsani). Yang Gaib yang dihijab dalam huruf ba’ ini dimunculkan kembali melalui “nama” Allah, yakni nama yang menunjukkan Zat Yang Maha Gaib. Jadi Bismillah adalah pertemuan antara yang “tak diwujudkan” dengan “yang maujud,” yang lahir dan batin, yang tampak dan yang gaib. Ini adalah perlambang hubungan Tuhan dengan ciptaan-Nya, yang menyimbolkan imanensi atau “keserupaan” (tasybih) sekaligus transendensi atau perpisahan (tanzih): “Allah meliputi segala sesuatu” dan “tiada sesuatupun yang menyerupai-Nya.” Maka dalam konteks eksistensi, ini melambangkan hubungan halus antara al-Khaliq dan makhluq: “Dia adalah engkau; engkau adalah engkau dan Dia adalah Dia” (al-huwa anta; wa anta anta wa huwa huwa). Jadi huruf ba’ adalah kinaya, metafora, yakni sesuatu yang menyembunyikan sesuatu yang lain. Ketika ba’ “divokalkan” menjadi bi, ia berarti “Dengan Aku,” yakni Aku Ilahi atau Allah sendiri. Menurut Syekh al-Akbar Ibn ‘Arabi, melalui Aku Ilahi ini, terdapat perbedaan antara bentuk hakiki dari Tuhan (al-sura al-haqiqiyya) dan bentuk citra-an atau metaforis (al-sura al-majaziyya), di mana melalui bentuk yang disebut belakangan inilah Dia menciptakan manusia — “Allah menciptakan manusia sesuai dengan bentuk atau citra-Nya.” Yang dimaksud adam di sini adalah insan kamil (Manusia Sempurna), yang memanifestasikan pola dasar keruhanian insan dalam gambaran-Nya. Jadi ba’ adalah bentuk pertama yang “mengejawantahkan” alif. Ba’ adalah pola dasar dan dapat dikatakan melambangkan adam dalam arti manusia di bumi. Karena manusia sempurna adalah cermin dari Bentuk Majazi-Nya, maka dialah yang diangkat menjadi khalifah-Nya dan memerintahkan malaikat untuk sujud kepadanya. Karena manusia diberi amanat kekhalifahan di muka bumi, maka Allah menjadikan manusia sebagai perwujudan yang kelihatan dari al-Batin. Ini berarti bahwa tercipta pula “pemisah” (hijab) antara Tuhan (Yang Maha Gaib) dengan manusia (manifestasi dari Yang Gaib).
Jadi, sejak awal huruf Kitabullah ini, pembaca Al-Qur’an telah diingatkan bahwa segala sesuatu selalu terkait dengan Allah, sebab “la maujuda illa Allah.” Setiap wujud selalu terkait dengan satu “nama” yang mengantarkan pada Zat-Nya, dengan kata lain pada hakikatnya hanya ada satu Wujud — Kesatuan Wujud (wahdat al-wujud). Tetapi, Kesatuan Wujud ini, sebagaimana Kitabullah, memuat prinsip diferensiasi (lihat kembali Bab 2). Jadi, membaca Al-Qur’an dengan benar akan membawa pembacanya pada visi atau pengalaman kesatuan wujud, tanpa mengacaukan aspek tanzih (transenden) dan tasybih (imanen).
Kata “Allah” dalam kalimat basmalah juga mengilustrasikan urutan persatuan dan perpisahan, tasybih dan tanzih. Setelah mengucapkan bismi, pembaca al-Qur’an akan bertemu dengan asma Allah — bismillah, yakni dengan menyebut asma “Allah.” Kata ini terdiri dari empat huruf, alif, lam, lam, dan ha. Kata ini amat istimewa. Jika dari kata “Allah” ini kita hilangkan huruf alif, maka kita akan mendapatkan kata “lillah”; jika lam pertama kita singkirkan, maka kita akan mendapatkan kata “lahu”; jika lam kedua kita singkirkan, kita akan mendapatkan kata “hu” — Semua itu merujuk kepada “Allah.” Huruf alif dalam kata “Allah” yang bernilai 1 melambangkan Diri Tuhan dan Keesaan-Nya. Huruf lam pertama adalah alam malakut (kerajaan langit). Huruf lam kedua adalah alam mulk (kerajaan dunia bumi). Dan Hu adalah tak ada sesuatupun selain Dia.
Ringkasnya, segala sesuatu adalah ada karena Allah dan “beserta” Allah. Kelangsungan hidup makhluk bergantung pada ruh yang “ditiupkan” ke dalam makhluk-Nya. Inilah tiupan rahmat, Nafas al-Rahman. Jadi, terwujudnya semesta, termasuk manusia, adalah lantaran Kasih-Nya. Allah disebut “ar-Rahman” selama Dia memancarkan “Wujud-Nya” yang tak terbatas, yang merupakan akar primordial dari semesta (kosmos). Karenanya, dalam satu pengertian, “Allah” dan “ar-Rahman” adalah identik sebab keduanya “mencakup segala sesuatu” — “Rahmat-Ku mencakup segala sesuatu” (Q.S 7: 156). Keidentikan ini juga diisyaratkan dalam ayat “Serulah Allah atau serulah ar-Rahman” (Q.S.17:10). Sampai di sini dapat dikatakan bahwa alif yang “tersembunyi” diejawantahkan atau dimanfestasikan dengan ba’, dan pengejawantahan ini adalah karena dan beserta “Allah,” dan manifestasi dipelihara dan dijaga dengan Rahmat-Nya yang tiada terbatas.
Akan tetapi ciptaan tak pernah sama dengan Pencipta, dan karenanya ciptaan akan berakhir. Tujuan akhir dari manusia adalah keselamatan dan kenikmatan di sorga. Inilah rahmat yang lebih khusus, ar-Rahim, yang dimanifestasikan dengan jelas di dalam surga. Dan di dalam surga inilah terdapat tujuan tertinggi manusia—“melihat” wajah Allah atau bertemu (liqa’) dengan Allah—sebuah pertemuan yang membahagiakan di mana sang hamba kembali “menyatu” dengan-Nya. Bertemu dengan Tuhan adalah bertemu dengan diri sendiri yang sejati — “Barang siapa mengenal dirinya, maka ia akan mengenal Tuhannya.” Sosok yang paling mengenal dirinya, dan karenanya, mengenal Tuhannya, tak lain adalah Insan Kamil (Manusia Sempurna), dengan perwujudannya atau personifikasinya yang tertinggi dan paling sempurna di dunia ini adalah Nabi Muhammad SAW. Kedatangan Muhammad sebagai Penutup Kenabian dan Kerasulan, sebagai Insan Kamil, adalah “kesimpulan” dari semesta.
Jadi, secara garis besar, di satu sisi dapat dikatakan lingkaran eksistensi manusia muncul pertama kali dengan bismi, yang diawali oleh Adam yang menerima “nama-nama segala hal” dari Allah, ar-Rahman, dan diakhiri oleh ar-Rahim, yang dengan Asma ini Muhammad menyatukan kembali hal-hal yang “dipisahkan” oleh bismi. Tauhid Rasulullah adalah menyatukan kembali signifikansi Tauhid, tanzih-tasybih, rahasia dari makna “Dia-lah Yang Mahaawal dan Mahaakhir, Yang Mahazahir dan Mahabatin” (Q.S. 57:3). Namun, di sisi lain, dalam konteks azali (sebelum ada alam), segala sesuatu berasal dari Muhammad yang, menurut salah satu riwayat hadis, diciptakan “2000 tahun sebelum penciptaan Adam” (lihat Bab 3). Dengan demikian “yang akhir” kembali ke “yang awal,” dan lingkaran tujuan penciptaan semesta pun telah paripurna: “Barang siapa mengenal dirinya, maka ia akan mengenal Tuhannya.”
Jadi, dari contoh tafsir di atas, yang hanya serba sedikit, tampak bahwa tafsir para sufi benar-benar memperhatikan detail hingga ke huruf-hurufnya. Dari mana datangnya pengetahuan tafsir simbolis semacam ini? Sufi As-Sady mengatakan, “Ketika Allah hendak menjadikan seseorang sebagai Wali, Dia akan mengajarinya ilm ladunni, dan ilmu ini tidak bisa diperoleh dengan penelitian rasional atau akal-budi” — ilm ladunni ini hanya bisa diperoleh melalui karunia dan pertolongan Ilahi setelah manusia mau berusaha untuk mensucikan hatinya dengan mendekatkan diri kepada-Nya.
Terakhir, beberapa Sufi menemukan keajaiban numerik dalam al-Qur’an yang menjadi dasar dari “struktur” al-Qur’an itu sendiri. Para Sufi merenungkan angka misterius yang dimuat dalam Q.S. 74: 30, “Di atasnya ada 19 penjaga.” Akhirnya sebagian sufi menemukan makna mistis dari angka ini — bahkan beberapa sekte spiritual mengagungkan angka ini, misalnya sekte Baha’iah. “Misteri 19” ini belakangan ditunjukkan melalui bantuan komputer oleh Prof. Rashad Khalifa Ph.D. Penemuannya mengukuhkan kebenaran tafsir mistis para sufi yang telah dikemukakan beberapa abad yang lalu.
Dengan berdasarkan huruf dan nilai numeriknya, Rashad menemukan bahwa struktur al-Qur’an “dijaga dari perubahan” berdasarkan angka 19. Struktur numerik dari ayat dan surat dan huruf diteliti dengan ilmu kriptografi dengan bantuan komputer. Tentu saja akan terlalu luas jika semua temuan itu diuraikan di sini, karenanya berikut ini akan disajikan sedikit contoh dari temuan misteri 19 penjaga itu.
Kalimat basmalah terdiri dari 19 huruf, di mana basmalah disebut 114 kali (19 x 6), di mana 114 adalah jumlah surat al-Qur’an. Semuanya ada di awal surat, kecuali di surat ke-9; namun kalimat basmalah muncul di salah satu ayat di surat 27 ayat 30, sehingga totalnya tetap 114. Kata “Allah” dalam al-Qur’an muncul sebanyak 2.698 kali, atau 19 x 142. Jumlah total ayat yang mengandung kata “Allah” adalah 118.123, yang merupakan hasil dari 19 x 6.217. Surat pertama, yang berada diurutan no. 96 dalam mushaf, terdiri dari 19 ayat. Ayat-ayat pertama yang turun adalah 5 ayat dengan jumlah kata 19 buah, 76 huruf (1`9 x 4). Total huruf setelah genap 19 ayat adalah 304 atau 19 x 16. Surat 110 yang diturunkan terakhir terdiri dari 19 kata, dan ayat pertama dari surat itu terdiri dari 19 huruf. Contoh lainnya: huruf Qaaf dalam surat Qaaf muncul sebanyak 57 kali, atau 19 x 3. Dalam surat Yaa Siin, huruf Yaa dan Siin muncul 285 kali, atau 19 x 15 — Jumlah kemunculan huruf-huruf muqatta’at lainnya dalam surat yang relevan juga merupakan kelipatan dari 19. Angka 19 juga merupakan nilai gematrikal dari kata “Satu” dalam bahasa Arab, yakni wahid (wawu, alif, ha dan dal), di mana total nilai numerik (lihat tabel numerik di atas) untuk kata ini adalah 19. Angka 619 (yang diambil dari 6 x 19 = 114) adalah deret ke-114 dari bilangan prima; dan kalimat wahdahu la syarikalahu memiliki nilai numerik 619. Sebagai angka prima, ia tidak boleh di-syirkah, diduakan. Demikian segelintir contoh dari struktur numerik al-Qur’an.
Jadi, setelah seluruh huruf dianalisis, pada akhirnya tampak bahwa tak satupun huruf yang bisa ditambah atau dikurangi, sebab melakukan perubahan itu akan menyebabkan strukturnya menyempal dari penjagaan angka 19 — Allah berfirman, “Sesungguhnya Kamilah yang menurunkan al-Qur’an dan Kami pula yang benar-benar menjaganya” (Q.S. 15:9).

E.     Analisis Mengenai Kelebihan dan Kekurangan Tafsir Al-Isyari
1.      Kelebihan atau Keunggulan Tafsir Al-Isyari
Mempelajari beberapa pokok bahasan di atas terutama terhadap ulama yang mendukung dan memperbolehkan penafsiran secara Isyari terlihat beberapa kelebihan yang dimiliki tafsir al-Isyari, yaitu :
1)      Tafsir Isyari mempunyai kekuatan hukum dari Syara` sebagaimana telah dijelaskan mengenai beberapa contoh penafsiran secara Isyari, seperti penafsiran Ibnu `Abbas terhadap firman Allah Q.S. Al-`Nashr :1. Sehingga hampir semua sahabat dalam kasus tersebut tidak ada yang memahami maknanya melainkan makna secara zahir atau tekstual.
2)      Apabila Tafsir Isyari ini memenuhi syarat-syarat tafsir sebagaimana yang telah disepakati para ulama tafsir, maka akan bertambah wawasan dan pengetahuan terhadap isi kandungan Al-Qur`an dan Hadith.
3)      Penafsiran secara Isyari tidaklah menjadi aneh kalau Allah melimpahkan ilmu pengetahuan kepada orang yang ia kehendaki serta memberikan pemahaman kepada orang-orang pilihan, seperti Abu Bakar, Umar, Ibnu `Abbas dan Nabi Khidhir AS.
4)      Penafsiran Isyari mempunyai pengertian-pengertian yang tidak mudah dijangkau sembarangan ahli tafsir kecuali bagi mereka yang memiliki sifat kesempurnaan Iman dan kemurnian ma`rifat.
5)      Tafsir Isyari atau tafsir golongan yang ma`rifat kepada Allah jelas telah memahami makna tekstual atau makna lahir dari al-Qur`an, sebelum menuju kepada makna secara isyarat. Hal ini mereka memiliki dua kelebihan. Pertama, menguasai makna lahir ayat atau hadith. Kedua, memahami makna isyaratnya.

2.      Kelemahan-kelemahan Tafsir Al-Isyari.
Menelaah kembali perbedaan pandangan ulama tafsir terhadap tafsir al-Isyari terutama pendapat yang menganggap tafsir al-Isyari tergolong ke dalam tafsir mardud atau tertolak penuh dengan rekayasa dan khayalan para penafsir. Disini terlihat beberapa kelemahan yang dimiliki tafsir al-Isyari, yaitu sebagai berikut : 
1)      Apabila Tafsir Isyari ini tidak memenuhi syarat-syarat sebagaimana telah di sebutkan diatas, maka tafsir ini dapat dikatakan tafsir dengan hawa nafsu atau rasio bertentangan dengan lahir ayat yang dilarang oleh Allah.
2)      Tafsir Isyari yang telah kemasukan pena`wilan yang rusak sebagaimana dipergunakan oleh aliran kebatinan. Tidak memperhatikan beberapa persyaratan yang telah ditetapkan Ulama sehingga berjalan bagaikan unta yang buta, yang akhirnya orang yang awam berani mencecerkan kitab Allah, menakwilkan menurut bisikan hawa nafsunya atau menurut bisikan setan. Orang-orang tersebut menduga bahwa hal itu termasuk tafsir Isyari akibat kebodohan dan kesesatan mereka karena telah menyelewengkan kitab Allah dan berjalan di atas pengaruh aliran kebatinan dan ateis. Hal semacam itu kalaupun bukan merupakan penyelewengan terhadap arti.
3)      Penafsiran secara Isyari kadang-kadang maknanya sangat jauh dari ketentuan-ketentuan agama yang sudah qath`i atau pasti keharamannya. Seperti anggapan Ibnu `Arabi terhadap orang-orang musyrik yang menyembah patung. Menurutnya mereka pada hakikatnya menyembah Allah bukan menyembah patung dan patung adalah sebagai pengganti Allah.
4)      Penafsiran secara Isyari tidak dapat dijangkau atau sulit dipahami oleh kaum awam yang berakibat pada rusaknya agama orang-orang awam. Sebagaimana ungkapan Ibnu Mas`ud ra, “Seseorang yang mengatakan kata-kata dihadapan orang lain tidak dimengerti hal itu akan menjadi fitnah buat mereka.”


DAFTAR PUSTAKA

Syaikh Muhammad Ali Ash Shobuni, At Tibyan fi Ulum Al Qur’an, Maktabah Rahmaniyah, Lahore Pakistan.
Imam Az Zarkasyi, Al Burhan fi Ulum Al Qur’an.

Syaikh Jaadul Haqq Ali Jaadul Haqq, Min Ahkam Al Qur’an wa Ulumihi, Darush Shidq, Islamabad Pakistan.
 Syaikh Muhammad Abdul Adzim Az Zarqani, Manahilul’irfan fi ulum Al Qur’an, Daar Ihya at Turats al Arabi Cet.II, Beirut Libanon.

Syaikh Tsana’ullah Al Hindi, Tafsirul Qur’an bikalam Ar Rahman, Daarus Salam Lin Nasyr wat Tawzi’ Cet.I (1423H/2002M), Riyadh.

Muhammad Husain Adz Dzahabi, At Tafsir wa Al Mufassirun, Daar Al Kutub Al Haditsah Cet.II (1396H/1972M), Riyadh.

Rifai , Mohammad. Mengapa Tafsir Al-Qur’an Dibutuhkan. (Semarang, CV. Wicaksana, tth)

Ushama, Thameem. Metodologi Tafsir Al-Quran, terj. Hasan Basri, Amroeni. (Jakarta: Riora Cipta, 2000)

M. Aly Ash-Shabuny. At-Tibyan fi ‘Ulum al-Qur’an, Terj. M. Chudlori Umar, dkk, (Bandung: Pengantar Studi Al-Qur’an Al-Ma’arif, 1987)

Manna Khalil Al-Qattan. Studi Ilmu-Ilmu Al-Quran. (Bogor: Litera Antar Nusa, 1996)
Ali Hasan al-‘Aridl. Tarikh al-‘Ilm al-Tafsir wa Manahij al-Mufassirin. Terj. Ahmad Akrom. (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1994)

Yunus Hasan. Tafsir Al-Quran(Sejarah Tafsirdan Metode Para Mufasir), terj. Qodirun Nur, Ahmad Musyafiq, (Jakarta: Gaya Media Pratama, 2007)

Muhammad Hasbi Ash Shiddieqy. Sejarah &Pengantar Ilmu Al-Quran dan Tafsi.,(Semarang: PT. Pustaka Rizki Putra, 1997)

Basri, Talhas Hasan. Spektrum Sainfikasi al-Qur’an. (jakarta: Bale Kajian Tafsir al-Quran Pase,2001)

Rosihan Anwar. Ilmu Tafsir. (Bandung : Pustaka Setia, 2000)
Muhammad Husein al-Zahabi. Penyimpangan-penyimpangan dalam penafsiran al-Qur`an. Terj. Hamim Ilyas , Machnun Husein. (Jakarta : Rajawali, 1991)

0 komentar: