A. Selayang Pandang
Tafsir Sufi
Penafsiran Sufi atas
makna rahasia (batiniah) atas Al-Qur’an didasarkan pada perlambang, yang hanya
bisa diungkap melalui kesucian. Tafsir sufi tidak terbatas hanya pada aspek
lahiriah dan batiniah dari teks surat secara keseluruhan, ayat per ayat, tetapi
juga menukik hingga ke tafsir atas huruf. Karena Al-Qur’an adalah Wahyu Allah,
yang boleh dikatakan “merepresentasikan” segala Ilmu Allah, maka setiap huruf
adalah ayat tersendiri yang melambangkan maksud tertentu. Rahasia-rahasia
Al-Qur’an, mulai dari rahasia surat hingga ke rahasia huruf tak bisa diketahui
melalui penalaran, tetapi melalui jalur lain, yakni mujahadah (jihad akbar)
sampai seseorang mencapai mukasyafah dan musyahadah (kesaksian atas kenyataan
batin).
Imam Ja’far as-Shadiq
mengatakan bahwa “Awalnya terbersit ‘pikiran’ dalam diri Tuhan, sebuah niat,
sebuah kehendak. Obyek dari pikiran ini, atau niat dari kehendak ini, adalah
huruf-huruf yang menjadi prinsip segala hal; menjadi ‘indeks’ dari segala
sesuatu dalam ciptaan. Dari huruf-huruf inilah segala sesuatu diketahui.”
Rasulullah bersabda, “Semua ayat Al-Qur’an mengandung makna lahir dan batin.
Setiap hurufnya memiliki makna tertentu, dan setiap huruf menyatakan secara tak
langsung tempat kedudukannya (matla’).”
Al-Tirmidhi menyatakan
bahwa semua ilmu ada dalam huruf-huruf karena asal-muasal ilmu sesungguhnya
berasal dari Asma Agung Tuhan, yang melahirkan penciptaan dan pengaturan. Allah
mengajari Adam pengetahuan dan akar pengetahuan. Pengetahuan itu terdiri dari
“nama-nama”; akar pengetahuan adalah 28 huruf abjad [Arab]. Bahasa berakar pada
huruf. Maka makna pengetahuan bukan hanya ditemukan dalam kalimat atau kata.
Dua puluh delapan huruf Arab, menurut Muhyiddin Ibn ‘Arabi, adalah artikulasi
(perwujudan) dari prinsip tunggal, yang masing-masing terkait dengan Nama
Ilahi. Jadinya setiap bentuk dasar huruf mengindikasikan makna.
Allah meletakkan
pengetahuan ma’rifat “nama-nama” ke dalam hati Adam. Tempat di mana nama-nama
itu mengambil bentuk (taswir) adalah di dada. Kemudian mereka diterjemahkan [ke
dalam bentuk suara] melalui tenggorokan dan bibir. Dalam huruf-huruf itu
tersimpan pengetahuan pengetahuan primordial (ilm al-bad’), pengetahuan Asma
Agung Allah, juga ilmu pengaturan oleh Allah (ilm al-tadbir) yang meliputi ilmu
dari Nabi Adam sampai Hari Kiamat. Nama adalah penanda atas sesuatu, sedangkan
sifat (atribut) adalah penjelasan yang datang dari sesuatu itu. Nama adalah
untuk bahasa, sifat adalah untuk penglihatan dan pemahaman.
Tetapi jika Allah adalah
tersembunyi, tak bisa disentuh, dilihat, dirasakan, dicium atau dipahami, maka
bagaimana mungkin manusia bisa mengetahui atau melihat sesuatu itu? Allah tidak
bisa dipahami dengan perasaan, sentuhan, penglihatan dan sebagainya, karena Dia
adalah “Perbendaharaan Tersembunyi” yang Maha Gaib. Oleh karenanya, sebelum Dia
menciptakan dunia, Dia memperlihatkan sifat-Nya demi kepentingan hamba-Nya.
Setiap sifat ini kemudian diekspresikan dalam kombinasi huruf-huruf yang
menjadi Asma al-Husna. Nama yang berasal dari atribut/sifat dan Allah bisa
dideksripsikan karena ada sifat yang memancar ini (lihat Bab 2). Nama dan sifat
hadir agar lidah bisa mengucapkannya hingga menjadi suara. Nama dan sifat,
sebagai bentuk penjelasan, adalah seperti “cahaya yang menerangi langit dan
bumi” sehingga segala sesuatu yang ada dalam ciptaan menjadi jelas — “Allah
adalah cahaya langit dan bumi.”
Melalui huruf-huruf
inilah Allah menampakkan diri kepada hamba-Nya, seperti dinyatakan oleh Imam
Ja’far: “Allah memperlihatkan Diri-Nya kepada hamba-Nya dalam kitab-Nya, namun
mereka tidak melihat-Nya,” yakni memperlihatkan Diri-Nya dalam rahasia di balik
huruf-huruf Kitabullah. Dengan demikian, untuk mengenal-Nya (ma’rifat), kita
mesti membaca Al-Qur’an dalam pengertian mistis ini. Jadinya, Iqra’, bacalah,
yakni siapa saja yang membaca Al-Qur’an dan Asma-Nya, ia laksana menyambungkan
cahaya pengetahuan dari lidahnya ke Sumbernya. Dalam analisis terakhir, ada
hubungan penting antara pensucian jiwa, membaca Al-Qur’an, dan pengetahuan
Allah: Seseorang yang telah mensucikan diri dari segala hawa nafsu, ia akan
“mengalirkan” khasanah Ilmu Allah ke dalam dirinya melalui perantaraan
Al-Qur’an. Ia akan dikaruniai pengetahuan tentang makna lahir dan batin dari
Al-Qur’an. Karena itu, dapat dipahami jika Nabi dan Wali Allah memiliki
pemahaman tentang Al-Qur’an yang tidak dipahami oleh manusia biasa. Karenanya,
menurut Al-Hakim al-Tirmidhi, salah satu tanda Wali Allah adalah ia menguasai
ilmu huruf. Ilmu huruf ini dianggap kunci bagi semua ilmu lainnya.
Turunnya Wahyu Al-Qur’an
dalam bentuk huruf-huruf adalah semacam transformasi dari dunia yang “tak
diciptakan” atau tak dapat dipahami menjadi dunia yang “terciptakan” atau dapat
dipahami. Abjad Arab — yang merupakan bahasa Al-Qur’an — terdiri dari 28 huruf,
yang terbagi menjadi dua bagian, 14 huruf-huruf yang jelas dan 14
huruf-huruf yang tersembunyi (dalam ilmu tajwid ini dinamakan huruf syamsiyyah
dan qamariyyah). Huruf yang berkaitan dengan dunia “yang tak terciptakan”
adalah huruf-huruf misterius yang menjadi awal dari 29 surat. Huruf-huruf itu
tidak “divokalkan” – misalnya ayat pertama surat al-Baqarah dibaca alif,
lam, miim dibaca tanpa harakat (penanda vokal). Semua ayat Al-Qur’an
bisa “dibaca” karena divokalkan, kecuali huruf-huruf pembuka beberapa surat,
yang hanya bisa “dieja.” Huruf-huruf misterius ini menjadi daya tarik
tersendiri bagi para Sufi.
Diriwayatkan bahwa
Sayyidina Abu Bakar as-Shiddiq pernah mengatakan bahwa rahasia dalam Al-Qur’an
terkandung dalam huruf-huruf fawatih atau muqatta’at (huruf-huruf yang
misterius artinya yang ada di ayat pembuka beberapa surat Al-Qur’an).
Interpretasi esoteris (mistis) atas huruf Arab tidak bisa dilakukan kecuali
dengan menyertakan aritmologik (nilai numerik atau angka pada setiap huruf).
Syekh Ahmad al-Buni dalam Kitab Syams al-Ma’arif al-Kubra menjelaskan:
“Rahasia-rahasia Tuhan dan obyek Ilmu-Nya … adalah dua macam, yakni huruf dan
angka. Angka adalah realitas tertinggi yang berbasis spiritual, sedangkan huruf
berasal dari alam material dan malakut. Angka adalah rahasia kata, dan huruf
adalah rahasia tindakan.” Dengan kata lain angka melambangkan dunia spiritual
dan huruf melambangkan dunia jasmaniyah. Nilai numerik dari masing-masing huruf
itu adalah sebagai berikut:
B. Pengertian
Tafsir Isyari/Sufi
Sesuai dengan latar
belakang di atas, bahwasannya corak penafsiran tasawuf / sufi disebut juga
tafsir isyari / isyarah.
Secara leksikal, kata
tafsīr (Bahasa Arab) merupakan bentuk masdar dari fassara (fi’il mādhī), yang
akar katanya terdiri dari fa’, sin, dan ra’. Pada dasarnya, kata yang tersusun
dari akar kata semacam itu memiliki makna menerangkan sesuatu atau
menjelaskannya.8 Sedangkan bentuk masdar-nya berarti keterangan atau
penjelasan.
Adapun kata isyārī (B.
Arab), jika ditinjau dari bentuknya merupakan verbal noun (masdar)
yang kemudian mendapat tambahan ya’ al-nisbah di akhir kata.
Secara leksikal kata tersebut berasal dari asyara – yasyiru – isyāratan,
yang bermakna al-dalīl (tanda, indikasi, dan petunjuk), juga
bisa bermakna menunjukkan dengan tangan atau dengan akal, mengeluarkan sesuatu
dari lubang, mengambil sesuatu, dan menampakkan sesuatu.
Berdasarkan telaah
makna-makna lafaz di atas, maka sederetan makna tersebut berimplikasi pada
pengertian lafadz isyārī yang memiliki
kecenderungan upaya untuk menunjukkan sesuatu yang tersembunyi agar bisa
diketahui secara jelas, atau lebih menonjolkan makna yang tersirat daripada
makna tersurat. Kata tersebut bisa dijumpai dalam al-Qur’an hanya sekali,11
yaitu dalam Surah Maryam ayat 29.
ôNu$x©r'sù Ïmøs9Î) ( (#qä9$s% y#øx. ãNÏk=s3çR `tB c%x. Îû ÏôgyJø9$# $wÎ6|¹ ÇËÒÈ
Artinya: “maka
Maryam menunjuk kepada anaknya. Mereka berkata: "Bagaimana kami akan
berbicara dengan anak kecil yang masih dalam ayunan?"
Telaah kebahasaan
sebagaimana di atas juga mengindikasikan adanya pemahaman tentang sesuatu yang
menunjukkan untuk memperoleh kejelasan, yakni dari asalnya tidak tahu bisa
menjadi tahu, dari yang tidak tampak menjadi tampak, dari yang tersembunyi atau
samar bisa menjadi terlihat, dari yang abstrak menjadi konkret, dan dari yang
terpendam menjadi di luar (berada pada permukaan). Dengan demikian, secara
etimologi, tafsir Isyāri memiliki makna tafsir yang
mengungkapkan makna atau maksud yang terpendam atau tersembunyi dalam lafaz
atau ayat al-Qur’an dengan kedalaman berpikir bahkan dengan zauq (perasaan
hati) yang extravagansa.
Secara terminologi,
tafsir Isyāri, menurut al-Shābūnī, adalah takwil al-Qur’an yang berbeda dengan
lahirnya lafaz atau ayat, karena untuk isyarah-isyarah yang sangat rahasia,
yang hanya diketahui oleh sebagian ulū al-‘ilm atau ‘ārifīn (orang
yang makrifat kepada Allah) dari orang yang telah diterangi mata hatinya oleh
Allah, sehingga mereka mampu menemukan rahasia-rahasia yang tersembunyi dibalik
ayat-ayat al-Qur’an. Atau bahkan bagian makna-makna yang detail itu tertuang
dalam hati mereka lantaran ilham ilahi, yang mana hal itu memungkinkan mereka
untuk mempertemukan makna tersebut dengan makna lahirnya.
Menurut sebagian ulama,
ilmu sebagaimana dimaksudkan di atas bukanlah seperti “ ‘ilm al-kasbī”
yang bisa didapat dengan cara membaca, mengingat dan menghafal, akan tetapi hal
itu lebih merupakan “ilmu laduni”, yakni ilmu pemberian yang boleh
dikata sebagai pancaran dari ketajaman takwa, istiqomah dan kebajikan.
Menurut al-Zahabī, tafsir
isyārī adalah hasil riyādhah rūhiyah seorang sufi sehingga bisa
menyingkap rahasia-rahasia dan i’tibar dalam wujud isyarat yang suci yang
muncul dengan sendirinya di dalam hatinya sebagai ungkapan dari terkuaknya
rahasia ayat-ayat karena makrifat kepada Allah
Di antara kelompok sufi
(tasawuf) ada yang mendakwakan bahwa riyadhah (latihan) ruhani yang dilakukan
seorang sufi bagi dirinya akan menyampaikan ke suatu tingkatan di mana ia dapat
menyikapkan isyarat-isyarat qudus yang terdapat di balik ungkapan-ungkapan Qur’an,
dan akan tercurah pula ke dalam hatinya dari limpahan ghaib, pengetahuan
subhani yang dibawa ayat-ayat itulah yang disebut Tafsir al-Isyari.
Pendapat yang lain
mengenai pengertian tafsir isyari/sufi seperti yang
diungkapkan oleh para ulama, yaitu sebagai berikut :
Tafsir Isyari adalah
tafsir yang menta`wilkan ayat tidak menurut zahirnya namun disertai usaha
menggabungkan antara yang zahir dan yang tersembunyi.”
Manna Khalil al-Qattan
dalam kitabnya Al-‘Ulum Al-Qur’an menyatakan bahwa setiap ayat
mempunyai makna zahir dan makna batin (tersembunyi). Makna zahir ialah segala
sesuatu yang segera mudah dipahami akal pikiran sebelum lainnya, sedangkan
makna batin adalah isyarat-isyarat tersembunyi di balik itu yang hanya nampak
dan diketahui maknanya oleh para ahli tertentu (ahli suluk).
Tafsir al-Isyari
sebagai:“Penafsiran al-Qur`an yang berlainan menurut zahir ayat karena adanya
petunjuk-petunjuk yang tersirat dan hanya diketahui oleh sebagian ulama, atau
hanya diketahui oleh orang yang mengenal Allah yaitu orang yang berpribadi
luhur dan telah terlatih jiwanya (mujahadah)” dan mereka yang diberi sinar oleh
Allah sehingga dapat menjangkau rahasia-rahasia al-Qur`an , pikirannya penuh
dengan arti-arti yang dalam dengan perantaraan ilham ilahi atau pertolongan
Allah, sehingga mereka bisa menggabungkan antara pengertian yang tersirat
dengan maksud yang tersurat dari ayat al-Qur`an.”
Ulama Aliran tasawuf
praktis mengartikan Tasfir al-Isyarat sebagai tafsir yang menakwilkan al-qur’an
dengan penjelasan yang berbeda dengan kandungan tekstualnya, yakni berupa
isyarat-isyarat yang hanya dapat ditangkap oleh mereka yang sedang menjalankan
suluk (perjalanan menuju Allah). Namun, terdapat kemungkinan untuk
menggabumgkan antara penafsiran tekstual dan penafsiran isyarat itu..
Dengan kata lain Tafsir
al-Isyari adalah suatu tafsir di mana mufassir berpendapat dengan makna lain
tidak sebagai yang tersurat dalam al-Qur`an, tetapi penafsiran tersebut tidak
diketahui oleh setiap insan kecuali mereka yang hatinya telah dibukakan dan
disinari oleh Allah, yakni orang-orang yang saleh yaitu mereka yang telah
dikaruniai pemahaman dan pengertian dari Allah (al-Rasikhun). Sebagaimana
difirmankan oleh Allah sehubungan dengan kisah Nabi Khidhir dengan Nabi Musa
AS:
#yy`uqsù #Yö6tã ô`ÏiB !$tRÏ$t6Ïã çm»oY÷s?#uä ZpyJômu ô`ÏiB $tRÏZÏã çm»oY÷K¯=tæur `ÏB $¯Rà$©! $VJù=Ïã ÇÏÎÈ
Artinya: Lalu
mereka bertemu dengan seorang hamba di antara hamba-hamba Kami, yang telah Kami
berikan kepadanya rahmat dari sisi Kami, dan yang telah Kami ajarkan kepadanya
ilmu dari sisi Kami.
Allah telah
menganugerahkan ilmu-Nya kepada Khidhir tanpa melalui proses belajar
sebagaimana yang dilakukan oleh orang-orang biasa. Ia memperoleh ilmu karena
ketaatan dan kesalihannya. Ia jauh dari maksiat dan dosa. Ia senantiasa
mendekatkan diri kepada Allah. Dalam kesuciannya, Khidhir diberikan ilmu dari
sisi-Nya yang dinamakan ilmu ladunni menggunakan pendekatan qalbi (hati) atau
rasa.
Tafsir semacam ini tidak
termasuk dalam kategori ilmu hasil usaha/ penemuan (kasabi atau nazari) yang
dapat dicapai dengan pemikiran dan penelitian yang mendalam tetapi termasuk
ilmu ladunni yaitu pemberian sebagai akibat dari ketaqwaan, keistiqamahan dan
kebaikan seseorang.
C. Pendapat ‘Ulama
tentang Tafsir Isyari
Para Ulama berbeda
pendapat mengenai Tafsir al-Isyari, di antaranya ada yang membenarkan dan
menganggap sebagai tafsir maqbul (diterima) , dan ada yang
tidak membenarkankannya dan menganggap sebagai tafsir mardud (ditolak).
Ada yang beranggapan sebagai kesempurnaan iman dan kebersihan kema`rifatan, ada
pula yang berasumsi sebagai suatu penyelewengan dan penyesatan dari ajaran Allah
SWT.
Pembahasan ini sangat
rumit dan memerlukan penelitian dan penyelidikan yang sungguh-sungguh, teratur
dan memerlukan penyelaman yang sangat mendalam. Seandainya tujuan dari tafsir
ini adalah mengikuti hawa nafsu dan hanya mempermainkan ayat-ayat Allah
sebagaimana yang dilakukan oleh aliran kebatinan maka tafsir semacam ini
termasuk zindik dan anti Tuhan (atheis). Sebaliknya, apabila tujuan tafsir
untuk menunjukkan bahwa kalam Allah tidak dapat dikuasai oleh manusia karena
merupakan ucapan dari Sang pencipta segala kekuatan dan kemampuan, serta
mengandung beberapa pengertian dan rahasia, hal itu termasuk pemurnian ma`rifat
dan kesempurnaan iman, sebagaimana dikatakan oleh ibnu `Abbas,”Al-Qur`an
mengandung berbagai budaya dan ilmu yang lahir maupun batin, keajaiban tidak
akan habis dan puncak tujuannya tidak akan terjangkau.”Barang siapa yang
menyelaminya dengan penuh kelembutan niscaya akan selamat dan barang siapa yang
menyelaminya dengan cara radikal niscaya akan terjerumus. Al-Qur`an mengandung berita
dan perumpamaan, halal dan haram, nasikh dan mansukh, muhkam dan mutasyabbih
yang lahir dan batin. Secara lahir berupa bacaan dan secara batin berupa
takwil. Belajarlah dari ulama dan jauhilah orang-orang bodoh.” [32]
Berkata Imam Az Zarkasyi
dalam Al Burhan: Perkataan orang-orang sufi dalam tafsir Qur’an adalah bukan
tafsir.
Menurut Sufi, kemampuan
seseorang dalam memahami makna Al-Qur’an amat bergantung kepada derajat dan
kualitas keruhanian. Imam Ja’far as-Shadiq mengatakan bahwa Kitab Allah
meliputi empat perkara: ibarat, isyarat, lathaif dan haqaiq. Ibarat adalah bagi
orang awam, isyarat adalah bagi orang khusus, lathaif adalah bagi para Wali
Allah, dan haqaiq adalah bagi para Nabi.
Sedangkan ulama’ yang
membolehkan, menetapkan beberapa syarat-syarat diterimanya tafsir bil-isyari.
Syarat-syarat itu antara lain:
1. Tidak
bertentangan atau meniadakan makna lahir (pengetahuan tekstual) ayat Al-Qu’an
2. Tidak
menyatakan bahwa makna isyarat itu merupakan makna sebenarnya (makna
satu-satunya) yang dikehendaki Allah, tanpa ada pengertian makna zhahir
3. Hendaknya
takwil yang digunakan tidak terlalu jauh, sehingga tidak sesuai dengan lafadz
4. Tidak
bertentangan dengan syari’at maupun akal
5. Dalam
takwilnya tidak menimbulkan keraguan pemahaman manusia.
Sebagaimana panafsiran
tasawuf praktis mengenai firman Allah:
y^Íurur ß`»yJøn=ß y¼ãr#y ( tA$s%ur $ygr'¯»t â¨$¨Z9$# $oYôJÏk=ãæ t,ÏÜZtB Îö©Ü9$# $uZÏ?ré&ur `ÏB Èe@ä. >äóÓx« ( ¨bÎ) #x»yd uqçlm; ã@ôÒxÿø9$# ßûüÎ7ßJø9$# ÇÊÏÈ
Atinya: Dan
Sulaiman Telah mewarisi Daud, dan dia berkata: "Hai manusia, kami Telah
diberi pengertian tentang suara burung dan kami diberi segala sesuatu.
Sesungguhnya (semua) Ini benar-benar suatu kurnia yang nyata".
Menurut mereka bahwa Ali
Bin Abi Thalib dan para sahabat lainnya adalah pewaris Ilmu Nabi SAW. Apabila
syarat-syarat ini terpenuhi maka penafsiran secara Isyari dapat diterima dan
merupakan istinbath yang baik.Tanpa syarat-syarat tersebut di atas, tafsir Isyari
tidaklah dapat diterima yang berarti termasuk tafsir berdasarkan hawa nafsu dan
ra`yu semata, yang dilarang. Allahlah yang memberikan taufik dan hidayah
menurut jalan yang benar.
Tafsir al-Isyari jika
bercampur dengan hal-hal yang samar-samar (tasyabbuh) ia akan menjadi
pemahaman yang salah dan sesat. Tetapi selama merupakan kajian dan penelitian (istinbat)
yang benar dan sesuai dengan kaedah-kaedah kebahasaan atau yang ditunjuk oleh
zahir ayat serta didukung oleh bukti kesahihannya tanpa adanya pertentangan (mukhalafah),
maka ia dapat diterima.
Kitab-kitab Tafsir
bil-isyari yang terkenal:
1. Tafsir
Al Qur’an Al Karim, oleh: Sahal bin Abdullah At Tistari
2. Haqaiqut
Tafsir, oleh: Abu Abdurrahman As Sulami
3. Al
Kasf wal Bayan, oleh: Ahmad bin Ibrahim An Naisaburi
4. Tafsir
Ibnu ‘Arabi, oleh: Muhyiddin Ibnu ‘Arabi
5. Ruhul
Ma’ani, oleh Syihabuddin Al Alusi
Selayang Pandang Kitab
Tafsir bil-isyari:
· Tafsir
Ruhul Ma’ani
Pengarangnya adalah
Syihabuddin Sayyid Mahmud Alusi, wafat tahun 1270H. Beliau adalah mufti di
Baghdad, yang juga terkenal sebagai seorang pujangga, ulama, ahli hikmah dan
ma’rifah, serta memiliki pemahaman dan ilmu yang cukup luas. DR. Muhammad
Husain Adz Dzahabi dalam At Tafsir wa Al Mufassirun, memasukkan kitab ini dalam
kategori tafsir bir-ra’yi, sedangkan Syaikh Muhammad Ali Ash Shobuni dalam At
Tibyan memasukkan tafsir ini dalam kategori tafsir bir-ra’yi dan bil-isyari
sekaligus.
Dalam kitab ini beliau
mengumpulkan pendapat-pendapat salafush shalih baik secara riwayah maupun
dirayah. Di dalamnya juga memuat beberapa pendapat ahli ilmu, dan dilengkapi
dengan tafsir-tafsir terdahulu. Disamping itu, beliaupun sangat berhati-hati
terhadap riwayat israiliyat, melengkapinya dengan tafsir isyari dan banyak
menyinggung tentang balaghah dan bayan. Boleh dibilang tafsir ini merupakan
literatur utama dalam ilmu tafsir bir-riwayah, bid-dirayah maupun bil-isyari.
D. Contoh-contoh tafsir
Isyari / Sufi
Ada beberapa contoh
Tafsir Al-Isyari yang disebutkan para ahli tafsir, di antaranya :
Manna Khalil Qattan
mengemukakan contoh untuk ini adalah Riwayat Ibnu Abbas di mana ia berkata :
“Umar RA mengajakku bergabung bersama tokoh-tokoh pertempuran Badar. Di antara
mereka ada yang keberatan dana berkata, “mengapa engkau mengajak anak kecil ini
bersama kami padahal kami mempunyai beberapa anak yang seusia dengannya? “Umar
menjawab, “Ia adalah orang yang kau kenal kepandaiannya. Pada suatu ketika aku
dipanggil untuk bergabung dalam kelompok mereka. Ibnu `Abbas berkata, “Aku
berkeyakinan bahwa Umar memanggilku semata-semata untuk diperkenalkan kepada
mereka. Umar berkata, “ Apakah pendapat kalian tentang firman Allah :
#sÎ) uä!$y_ ãóÁtR «!$# ßx÷Gxÿø9$#ur ÇÊÈ
Artinya: Apabila telah
datang pertolongan Allah dan kemenangan,
Di antara mereka yang
menjawab, “ Kami diperintahkan untuk memuji dan meminta kepada Allah ketika
mendapat pertolongan dan kemenangan. “ Sahabat yang lain bungkam dan mengatakan
apa-apa. Umar melemparkan pertanyaan kepadaku, “Begitukah pendapatmu Ibnu
`Abbas ? Aku menjawab,
“ Ayat itu menunjukkan
tentang ajal Rasulullah SAW yang diberitahukan Allah SWT kepadanya”.
ôxÎm7|¡sù ÏôJpt¿2 y7Înu çnöÏÿøótGó$#ur 4 ¼çm¯RÎ) tb%2 $R#§qs? ÇÌÈ
Artinya : Maka
bertasbihlah dengan memuji Tuhanmu dan mohonlah ampun kepada-Nya. Sesungguhnya
Dia adalah Maha Penerima taubat.
Umar menjawab, “ Aku
tidak tahu pengertian ayat tersebut, kecuali yang engkau jelaskan “ (Hadist
Riwayat Bukhari).
Berdasarkan riwayat di
atas jelas menunjukkan bahwa pemahaman Ibnu `Abbas ini tidak bisa dikuasai oleh
sahabat-sahabat yang lain. Yang memahaminya hanyalah Umar RA dan Ibnu `Abbas
sendiri. Inilah bentuk Tafsir Al-Isyari yang diilhamkan Allah kepada makhlukNya
yang dikehendaki untuk diperlihatkan kepada hamba-hamba lainnya, yakni surat
Al-Nashr tersebut menyatakan berita wafat Nabi SAW dan menunjukkan dekatnya
ajal beliau.
Misalnya sebuah Hadist
yang menyebutkan bahwa pada ketika Nabi SAW berkhutbah di hadapan orang ramai.
Di antara khutbahnya tersebut beliau mengemukakan : “Bahwasannya Allah menyuruh
seorang hamban-Nya untuk memilih seluruh isi dunia ini atau apa yang ada
disisi-Nya. Kemudian Ia memilihnya memilihnya yang ada dekat-Nya. Abu Bakar
menangis (dalam satu riwayat ia mengatakan, “Kami menebusmu ya Rasulullah
dengan nenek moyang kami). Kami merasa heran terhadap Abu Bakar
yang menangis. Setelah wafatnya Rasulullah SAW, kami mengetahui bahwa Abu Bakar
adalah orang yang terpilih dan kenyataan memang Abu Bakar yang terpandai di
antara kami.”
Dalam kasus diatas
sangat jelas terlihat bahwa sahabat Abu Bakar RA telah dapat memahami arti
sabda Nabi SAW secara tersirat atau isyarat yang tidak bisa dijangkau pemahaman
tersebut oleh para sahabat lainnya.
Cuplikan contoh yang
lain seperti yang terdapat dalam tafsir Ibnu ‘Arabi, oleh: Muhyiddin Ibnu Araby
yang terdapat dalam surat Yaasin ayat 45-47 dibawah ini:
#sÎ)ur @Ï% ãNßgs9 (#qà)®?$# $tB tû÷üt öNä3Ï÷r& $tBur ÷ä3xÿù=yz ÷ä3ª=yès9 tbqçHxqöè? ÇÍÎÈ
Artinya : Dan apabila
dikatakan kepada mereka: “Takutlah kamu akan siksa yang di hadapanmu dan siksa
yang akan datang supaya kamu mendapat rahmat”, (niscaya mereka berpaling).
Dan apabila dikatakan
kepada mereka: “Takutlah kamu akan apa yang di hadapanmu” berupa
kiamat Kubro, dan siksa yang akan datang, (berupa kiamat shughro). Kiamat yang
pertama dating dari arah Allah Azza wa-Jalla, sedangkan kiamat kedua datang
dari arah diri melalui fana’ dalam Allah swt, di dunia, berikutnya menyendiri
dari situasi dan kondisi fisik dan menyemalatkan diri darinya. Agar
kamu mendapat rahmat”,
$tBur NÍkÏ?ù's? ô`ÏiB 7pt#uä ô`ÏiB ÏM»t#uä öNÍkÍh5u wÎ) (#qçR%x. $pk÷]tã tûüÅÊÌ÷èãB ÇÍÏÈ
Artinya : Dan
sekali-kali tiada datang kepada mereka suatu tanda dari tanda-tanda kekuasaan
Tuhan mereka, melainkan mereka selalu berpaling daripadanya.
Dan sekali-kali tiada
datang kepada mereka suatu tanda dari tanda-tanda kekuasaan Tuhan mereka,
melainkan mereka selalu berpaling daripadanya. (Mereka berpaling karena
tertirai hijab, yang menimbulkan kontra kepada Allah swt, sebab nafsu mereka
mengkristal dalam hijab itu sendiri sehingga mereka tersiksa.)
#sÎ)ur @Ï% öNçlm; (#qà)ÏÿRr& $£JÏB âä3x%yu ª!$# tA$s% tûïÏ%©!$# (#rãxÿ2 tûïÏ%©#Ï9 (#þqãZtB#uä ãNÏèôÜçRr& `tB öq©9 âä!$t±o ª!$# ÿ¼çmyJyèôÛr& ÷bÎ) óOçFRr& wÎ) Îû 9@»n=|Ê &ûüÎ7B ÇÍÐÈ
Artinya : Dan apabila
dikatakan kepada mereka: “Nafkahkanlah sebahagian dari rezki yang diberikan
Allah kepadamu”, maka orang-orang yang kafir itu berkata kepada orang-orang
yang beriman: “Apakah kami akan memberi makan kepada orang-orang yang jika
Allah menghendaki tentulah Dia akan memberinya makan, tiadalah kamu melainkan
dalam kesesatan yang nyata”.
Dan apabila dikatakan
kepada mereka: “Nafkahkanlah sebahagian dari rezki yang diberikan Allah
kepadamu”, maka orang-orang yang kafir itu berkata kepada orang-orang yang
beriman: “Apakah kami akan memberi makan kepada orang-orang yang jika Allah
menghendaki tentulah Dia akan memberinya makan, tiadalah kamu melainkan dalam
kesesatan yang nyata”.
Mereka tersesat karena
mereka berkata dari kegelapan jiwanya. Kegelapan nafsu dan jasad, yang terus
menerus membangun sikap sinis kepada Ketuhanan Allah swt., kekuasaanNya dan
RahmatNya.
Bahasa-bahasa yang
keluar dari diri mereka adalah bahasa nafsu, bahasa kesombongan, bahasa
pengandalan pada “keakuan” yang telah menjadi berhala bagi mereka sendiri.
Dalam contoh yang lain,
seperti yang diungkapkan oleh para sufi Menurut para Sufi, huruf-huruf
misterius yang “tak bermakna” itu dianggap mengandung ilmu-ilmu Allah yang
diturunkan secara langsung dengan sangat cepat sehingga bahkan malaikatpun tak
sempat memahami artinya. Dalam riwayat diceritakan ketika Jibril menurunkan ayat
pertama Surat Maryam, Kaaf, haa, yaa, ‘ain, shaad, Nabi berkata, “Aku tahu
artinya,” tetapi Jibril bertanya, “Bagaimana engkau tahu sesuatu yang aku tak
tahu?” Melalui ilmu huruf dan angka ini para Sufi melahirkan pandangan yang
eksotis tentang Al-Qur’an.
Misalnya, huruf-huruf
awal awal surat Maryam ditafsirkan sebagai perlambang dari Asma al-Husna:
Kaaf =
al-Kafi
Haa =
al-Hadi
Yaa =
al-Yaqin
‘Ain =
al-‘Alim
Shad = as-Shadiq
Karenanya, huruf-huruf
ini mengandung makna dan “berkah” tertentu dari khasanah Asma-Nya, yang hanya
bisa diketahui oleh para ahli-kasyaf. Sayyidina Ali ibn Abi Thalib menggunakan
huruf-huruf ini sebagai wasilah untuk berdoa: Wahai Kaaf, Haa, Yaa, ‘Ain, Shaad,
aku berlindung kepada-Mu dari dosa yang menyebabkan murka-Mu … Ya Allah
tolonglah aku melawan diriku sendiri.” Demikian pula Sayyid Abu Hasan
as-Syadzili berdoa dengan menggunakan huruf-huruf: “Qaaf, Jiim, adalah dua
rahasia bersama-Mu. Keduanya menunjukkan kepada selain-Mu. Maka, dengan rahasia
yang menyeluruh yang menunjukkan kepada-Mu, janganlah Engkau biarkan aku menuju
selain-Mu. Engkau Mahakuasa atas segala sesuatu.”
Sebagai ilustrasi,
berikut sedikit contoh tentang tafsir oleh para Sufi. Pertama kita ambil contoh
ayat awal Surat Al-Fatihah yang merupakan induk Al-Qur’an, yakni ayat
bismillahi ar-rahman ar-rahim. Untuk contoh pertama, di bawah ini hanya akan
disajikan sedikit saja contoh tafsir kalimat “bismillah” disebabkan oleh
keterbatasan tempat dalam buku ini.
Surat ini oleh Al-Qur’an
sendiri (Q.S. 15:87) disebut “Tujuh yang diulang” (sabt al-matsani) sebab
Al-Fatihah terdiri dari tujuh ayat yang dibaca berulang-ulang dalam shalat.
Dalam al-Fatihah terdapat seluruh huruf kecuali tujuh huruf:
za, kho, dzho, tsa’, syin, jim, fa
Sebagian Sufi menyatakan
bahwa Asma Paling Agung (Ism al-Adzam) Allah terkandung dalam huruf-huruf ini.
Dalam sebuah tafsir lain
dikatakan bahwa semua yang tercantum dalam Al-Qur’an ada dalam Al-Fatihah, dan
semua yang ada dalam Al-Fatihah ada di dalam bismillahi ar-Rahman ar-Rahim
(kalimat basmalah), dan semua yang ada di dalam kalimat basmalah itu ada dalam
huruf ba’, dan huruf ba’ itu sendiri terkandung di dalam titik yang berada di
bawahnya. Titik adalah asal-usul dari segala huruf. Menurut suatu riwayat,
Sayyidina Ali ibn Abi Thalib mengisyaratkan tafsir ini dalam ucapan saat beliau
mengalami fana: Anaa nuqtatu ba–i bismillah (Aku adalah titik huruf ba’ dalam
bismillah).
Kalam Ilahi dimulai
dengan bismillahi — “Dengan menyebut Nama Allah” — yang diawali bukan oleh
huruf alif (yang bernilai 1) tetapi oleh huruf ba’, yang bernilai 2. Kalimat
bismi asalnya adalah bi-ism, yakni ada alif di antara ba’ dan sin. Alif, yang
bernilai 1, melambangkan Zat yang Maha Esa dan Tak Terpahami (Transenden).
Alif, perlambang Zat Maha Gaib dan wujud primer (wujud al-awwal)
“disembunyikan” dalam huruf ba’ yang melambangkan manifestasi atau perwujudan
(zuhur) atau eksistensi kedua (wujud al-tsani). Yang Gaib yang dihijab dalam
huruf ba’ ini dimunculkan kembali melalui “nama” Allah, yakni nama yang
menunjukkan Zat Yang Maha Gaib. Jadi Bismillah adalah pertemuan antara yang
“tak diwujudkan” dengan “yang maujud,” yang lahir dan batin, yang tampak dan
yang gaib. Ini adalah perlambang hubungan Tuhan dengan ciptaan-Nya, yang
menyimbolkan imanensi atau “keserupaan” (tasybih) sekaligus transendensi atau
perpisahan (tanzih): “Allah meliputi segala sesuatu” dan “tiada sesuatupun yang
menyerupai-Nya.” Maka dalam konteks eksistensi, ini melambangkan hubungan halus
antara al-Khaliq dan makhluq: “Dia adalah engkau; engkau adalah engkau dan Dia
adalah Dia” (al-huwa anta; wa anta anta wa huwa huwa). Jadi huruf ba’ adalah
kinaya, metafora, yakni sesuatu yang menyembunyikan sesuatu yang lain. Ketika
ba’ “divokalkan” menjadi bi, ia berarti “Dengan Aku,” yakni Aku Ilahi atau
Allah sendiri. Menurut Syekh al-Akbar Ibn ‘Arabi, melalui Aku Ilahi ini,
terdapat perbedaan antara bentuk hakiki dari Tuhan (al-sura al-haqiqiyya) dan
bentuk citra-an atau metaforis (al-sura al-majaziyya), di mana melalui bentuk
yang disebut belakangan inilah Dia menciptakan manusia — “Allah menciptakan
manusia sesuai dengan bentuk atau citra-Nya.” Yang dimaksud adam di sini adalah
insan kamil (Manusia Sempurna), yang memanifestasikan pola dasar keruhanian
insan dalam gambaran-Nya. Jadi ba’ adalah bentuk pertama yang
“mengejawantahkan” alif. Ba’ adalah pola dasar dan dapat dikatakan melambangkan
adam dalam arti manusia di bumi. Karena manusia sempurna adalah cermin dari
Bentuk Majazi-Nya, maka dialah yang diangkat menjadi khalifah-Nya dan
memerintahkan malaikat untuk sujud kepadanya. Karena manusia diberi amanat
kekhalifahan di muka bumi, maka Allah menjadikan manusia sebagai perwujudan
yang kelihatan dari al-Batin. Ini berarti bahwa tercipta pula “pemisah” (hijab)
antara Tuhan (Yang Maha Gaib) dengan manusia (manifestasi dari Yang Gaib).
Jadi, sejak awal huruf
Kitabullah ini, pembaca Al-Qur’an telah diingatkan bahwa segala sesuatu selalu
terkait dengan Allah, sebab “la maujuda illa Allah.” Setiap wujud selalu
terkait dengan satu “nama” yang mengantarkan pada Zat-Nya, dengan kata lain
pada hakikatnya hanya ada satu Wujud — Kesatuan Wujud (wahdat al-wujud).
Tetapi, Kesatuan Wujud ini, sebagaimana Kitabullah, memuat prinsip diferensiasi
(lihat kembali Bab 2). Jadi, membaca Al-Qur’an dengan benar akan membawa
pembacanya pada visi atau pengalaman kesatuan wujud, tanpa mengacaukan aspek
tanzih (transenden) dan tasybih (imanen).
Kata “Allah” dalam
kalimat basmalah juga mengilustrasikan urutan persatuan dan perpisahan, tasybih
dan tanzih. Setelah mengucapkan bismi, pembaca al-Qur’an akan bertemu dengan
asma Allah — bismillah, yakni dengan menyebut asma “Allah.” Kata ini terdiri
dari empat huruf, alif, lam, lam, dan ha. Kata ini amat istimewa. Jika dari
kata “Allah” ini kita hilangkan huruf alif, maka kita akan mendapatkan kata
“lillah”; jika lam pertama kita singkirkan, maka kita akan mendapatkan kata
“lahu”; jika lam kedua kita singkirkan, kita akan mendapatkan kata “hu” — Semua
itu merujuk kepada “Allah.” Huruf alif dalam kata “Allah” yang bernilai 1
melambangkan Diri Tuhan dan Keesaan-Nya. Huruf lam pertama adalah alam malakut
(kerajaan langit). Huruf lam kedua adalah alam mulk (kerajaan dunia bumi). Dan
Hu adalah tak ada sesuatupun selain Dia.
Ringkasnya, segala
sesuatu adalah ada karena Allah dan “beserta” Allah. Kelangsungan hidup makhluk
bergantung pada ruh yang “ditiupkan” ke dalam makhluk-Nya. Inilah tiupan
rahmat, Nafas al-Rahman. Jadi, terwujudnya semesta, termasuk manusia, adalah
lantaran Kasih-Nya. Allah disebut “ar-Rahman” selama Dia memancarkan
“Wujud-Nya” yang tak terbatas, yang merupakan akar primordial dari semesta
(kosmos). Karenanya, dalam satu pengertian, “Allah” dan “ar-Rahman” adalah
identik sebab keduanya “mencakup segala sesuatu” — “Rahmat-Ku mencakup segala
sesuatu” (Q.S 7: 156). Keidentikan ini juga diisyaratkan dalam ayat “Serulah
Allah atau serulah ar-Rahman” (Q.S.17:10). Sampai di sini dapat dikatakan bahwa
alif yang “tersembunyi” diejawantahkan atau dimanfestasikan dengan ba’, dan pengejawantahan
ini adalah karena dan beserta “Allah,” dan manifestasi dipelihara dan dijaga
dengan Rahmat-Nya yang tiada terbatas.
Akan tetapi ciptaan tak
pernah sama dengan Pencipta, dan karenanya ciptaan akan berakhir. Tujuan akhir
dari manusia adalah keselamatan dan kenikmatan di sorga. Inilah rahmat yang
lebih khusus, ar-Rahim, yang dimanifestasikan dengan jelas di dalam surga. Dan
di dalam surga inilah terdapat tujuan tertinggi manusia—“melihat” wajah Allah
atau bertemu (liqa’) dengan Allah—sebuah pertemuan yang membahagiakan di mana
sang hamba kembali “menyatu” dengan-Nya. Bertemu dengan Tuhan adalah bertemu
dengan diri sendiri yang sejati — “Barang siapa mengenal dirinya, maka ia akan
mengenal Tuhannya.” Sosok yang paling mengenal dirinya, dan karenanya, mengenal
Tuhannya, tak lain adalah Insan Kamil (Manusia Sempurna), dengan perwujudannya
atau personifikasinya yang tertinggi dan paling sempurna di dunia ini adalah
Nabi Muhammad SAW. Kedatangan Muhammad sebagai Penutup Kenabian dan Kerasulan,
sebagai Insan Kamil, adalah “kesimpulan” dari semesta.
Jadi, secara garis
besar, di satu sisi dapat dikatakan lingkaran eksistensi manusia muncul pertama
kali dengan bismi, yang diawali oleh Adam yang menerima “nama-nama segala hal”
dari Allah, ar-Rahman, dan diakhiri oleh ar-Rahim, yang dengan Asma ini Muhammad
menyatukan kembali hal-hal yang “dipisahkan” oleh bismi. Tauhid Rasulullah
adalah menyatukan kembali signifikansi Tauhid, tanzih-tasybih, rahasia dari
makna “Dia-lah Yang Mahaawal dan Mahaakhir, Yang Mahazahir dan Mahabatin” (Q.S.
57:3). Namun, di sisi lain, dalam konteks azali (sebelum ada alam), segala
sesuatu berasal dari Muhammad yang, menurut salah satu riwayat hadis,
diciptakan “2000 tahun sebelum penciptaan Adam” (lihat Bab 3). Dengan demikian
“yang akhir” kembali ke “yang awal,” dan lingkaran tujuan penciptaan semesta
pun telah paripurna: “Barang siapa mengenal dirinya, maka ia akan mengenal
Tuhannya.”
Jadi, dari contoh tafsir
di atas, yang hanya serba sedikit, tampak bahwa tafsir para sufi benar-benar
memperhatikan detail hingga ke huruf-hurufnya. Dari mana datangnya pengetahuan
tafsir simbolis semacam ini? Sufi As-Sady mengatakan, “Ketika Allah hendak
menjadikan seseorang sebagai Wali, Dia akan mengajarinya ilm ladunni, dan ilmu
ini tidak bisa diperoleh dengan penelitian rasional atau akal-budi” — ilm
ladunni ini hanya bisa diperoleh melalui karunia dan pertolongan Ilahi setelah
manusia mau berusaha untuk mensucikan hatinya dengan mendekatkan diri
kepada-Nya.
Terakhir, beberapa Sufi
menemukan keajaiban numerik dalam al-Qur’an yang menjadi dasar dari “struktur”
al-Qur’an itu sendiri. Para Sufi merenungkan angka misterius yang dimuat dalam
Q.S. 74: 30, “Di atasnya ada 19 penjaga.” Akhirnya sebagian sufi menemukan
makna mistis dari angka ini — bahkan beberapa sekte spiritual mengagungkan
angka ini, misalnya sekte Baha’iah. “Misteri 19” ini belakangan ditunjukkan
melalui bantuan komputer oleh Prof. Rashad Khalifa Ph.D. Penemuannya
mengukuhkan kebenaran tafsir mistis para sufi yang telah dikemukakan beberapa
abad yang lalu.
Dengan berdasarkan huruf
dan nilai numeriknya, Rashad menemukan bahwa struktur al-Qur’an “dijaga dari
perubahan” berdasarkan angka 19. Struktur numerik dari ayat dan surat dan huruf
diteliti dengan ilmu kriptografi dengan bantuan komputer. Tentu saja akan
terlalu luas jika semua temuan itu diuraikan di sini, karenanya berikut ini
akan disajikan sedikit contoh dari temuan misteri 19 penjaga itu.
Kalimat basmalah terdiri
dari 19 huruf, di mana basmalah disebut 114 kali (19 x 6), di mana 114 adalah
jumlah surat al-Qur’an. Semuanya ada di awal surat, kecuali di surat ke-9;
namun kalimat basmalah muncul di salah satu ayat di surat 27 ayat 30, sehingga
totalnya tetap 114. Kata “Allah” dalam al-Qur’an muncul sebanyak 2.698 kali,
atau 19 x 142. Jumlah total ayat yang mengandung kata “Allah” adalah 118.123,
yang merupakan hasil dari 19 x 6.217. Surat pertama, yang berada diurutan no.
96 dalam mushaf, terdiri dari 19 ayat. Ayat-ayat pertama yang turun adalah 5
ayat dengan jumlah kata 19 buah, 76 huruf (1`9 x 4). Total huruf setelah genap
19 ayat adalah 304 atau 19 x 16. Surat 110 yang diturunkan terakhir terdiri
dari 19 kata, dan ayat pertama dari surat itu terdiri dari 19 huruf. Contoh
lainnya: huruf Qaaf dalam surat Qaaf muncul sebanyak 57 kali, atau 19 x 3.
Dalam surat Yaa Siin, huruf Yaa dan Siin muncul 285 kali, atau 19 x 15 — Jumlah
kemunculan huruf-huruf muqatta’at lainnya dalam surat yang relevan juga
merupakan kelipatan dari 19. Angka 19 juga merupakan nilai gematrikal dari kata
“Satu” dalam bahasa Arab, yakni wahid (wawu, alif, ha dan dal), di mana total
nilai numerik (lihat tabel numerik di atas) untuk kata ini adalah 19. Angka 619
(yang diambil dari 6 x 19 = 114) adalah deret ke-114 dari bilangan prima; dan
kalimat wahdahu la syarikalahu memiliki nilai numerik 619. Sebagai angka prima,
ia tidak boleh di-syirkah, diduakan. Demikian segelintir contoh dari struktur
numerik al-Qur’an.
Jadi, setelah seluruh
huruf dianalisis, pada akhirnya tampak bahwa tak satupun huruf yang bisa
ditambah atau dikurangi, sebab melakukan perubahan itu akan menyebabkan
strukturnya menyempal dari penjagaan angka 19 — Allah berfirman, “Sesungguhnya
Kamilah yang menurunkan al-Qur’an dan Kami pula yang benar-benar menjaganya”
(Q.S. 15:9).
E. Analisis
Mengenai Kelebihan dan Kekurangan Tafsir Al-Isyari
1. Kelebihan
atau Keunggulan Tafsir Al-Isyari
Mempelajari beberapa
pokok bahasan di atas terutama terhadap ulama yang mendukung dan memperbolehkan
penafsiran secara Isyari terlihat beberapa kelebihan yang dimiliki tafsir
al-Isyari, yaitu :
1) Tafsir
Isyari mempunyai kekuatan hukum dari Syara` sebagaimana telah dijelaskan
mengenai beberapa contoh penafsiran secara Isyari, seperti penafsiran Ibnu
`Abbas terhadap firman Allah Q.S. Al-`Nashr :1. Sehingga hampir semua sahabat
dalam kasus tersebut tidak ada yang memahami maknanya melainkan makna secara
zahir atau tekstual.
2) Apabila
Tafsir Isyari ini memenuhi syarat-syarat tafsir sebagaimana yang telah
disepakati para ulama tafsir, maka akan bertambah wawasan dan pengetahuan
terhadap isi kandungan Al-Qur`an dan Hadith.
3) Penafsiran
secara Isyari tidaklah menjadi aneh kalau Allah melimpahkan ilmu pengetahuan
kepada orang yang ia kehendaki serta memberikan pemahaman kepada orang-orang
pilihan, seperti Abu Bakar, Umar, Ibnu `Abbas dan Nabi Khidhir AS.
4) Penafsiran
Isyari mempunyai pengertian-pengertian yang tidak mudah dijangkau sembarangan
ahli tafsir kecuali bagi mereka yang memiliki sifat kesempurnaan Iman dan
kemurnian ma`rifat.
5) Tafsir
Isyari atau tafsir golongan yang ma`rifat kepada Allah jelas telah memahami
makna tekstual atau makna lahir dari al-Qur`an, sebelum menuju kepada makna
secara isyarat. Hal ini mereka memiliki dua kelebihan. Pertama, menguasai makna
lahir ayat atau hadith. Kedua, memahami makna isyaratnya.
2. Kelemahan-kelemahan
Tafsir Al-Isyari.
Menelaah kembali
perbedaan pandangan ulama tafsir terhadap tafsir al-Isyari terutama pendapat
yang menganggap tafsir al-Isyari tergolong ke dalam tafsir mardud atau tertolak
penuh dengan rekayasa dan khayalan para penafsir. Disini terlihat beberapa
kelemahan yang dimiliki tafsir al-Isyari, yaitu sebagai berikut :
1) Apabila
Tafsir Isyari ini tidak memenuhi syarat-syarat sebagaimana telah di sebutkan
diatas, maka tafsir ini dapat dikatakan tafsir dengan hawa nafsu atau rasio
bertentangan dengan lahir ayat yang dilarang oleh Allah.
2) Tafsir
Isyari yang telah kemasukan pena`wilan yang rusak sebagaimana dipergunakan oleh
aliran kebatinan. Tidak memperhatikan beberapa persyaratan yang telah
ditetapkan Ulama sehingga berjalan bagaikan unta yang buta, yang akhirnya orang
yang awam berani mencecerkan kitab Allah, menakwilkan menurut bisikan hawa
nafsunya atau menurut bisikan setan. Orang-orang tersebut menduga bahwa hal itu
termasuk tafsir Isyari akibat kebodohan dan kesesatan mereka karena telah
menyelewengkan kitab Allah dan berjalan di atas pengaruh aliran kebatinan dan
ateis. Hal semacam itu kalaupun bukan merupakan penyelewengan terhadap arti.
3) Penafsiran
secara Isyari kadang-kadang maknanya sangat jauh dari ketentuan-ketentuan agama
yang sudah qath`i atau pasti keharamannya. Seperti anggapan Ibnu `Arabi
terhadap orang-orang musyrik yang menyembah patung. Menurutnya mereka pada
hakikatnya menyembah Allah bukan menyembah patung dan patung adalah sebagai
pengganti Allah.
4) Penafsiran
secara Isyari tidak dapat dijangkau atau sulit dipahami oleh kaum awam yang
berakibat pada rusaknya agama orang-orang awam. Sebagaimana ungkapan Ibnu
Mas`ud ra, “Seseorang yang mengatakan kata-kata dihadapan orang lain tidak
dimengerti hal itu akan menjadi fitnah buat mereka.”
DAFTAR PUSTAKA
Syaikh Muhammad Ali Ash
Shobuni, At Tibyan fi Ulum Al Qur’an, Maktabah Rahmaniyah, Lahore Pakistan.
Imam Az Zarkasyi, Al
Burhan fi Ulum Al Qur’an.
Syaikh Jaadul Haqq Ali
Jaadul Haqq, Min Ahkam Al Qur’an wa Ulumihi, Darush Shidq, Islamabad Pakistan.
Syaikh Tsana’ullah Al
Hindi, Tafsirul Qur’an bikalam Ar Rahman, Daarus Salam Lin Nasyr wat Tawzi’
Cet.I (1423H/2002M), Riyadh.
Muhammad Husain Adz
Dzahabi, At Tafsir wa Al Mufassirun, Daar Al Kutub Al Haditsah Cet.II
(1396H/1972M), Riyadh.
Rifai , Mohammad.
Mengapa Tafsir Al-Qur’an Dibutuhkan. (Semarang, CV. Wicaksana, tth)
Ushama, Thameem.
Metodologi Tafsir Al-Quran, terj. Hasan Basri, Amroeni. (Jakarta: Riora Cipta,
2000)
M. Aly Ash-Shabuny.
At-Tibyan fi ‘Ulum al-Qur’an, Terj. M. Chudlori Umar, dkk, (Bandung: Pengantar
Studi Al-Qur’an Al-Ma’arif, 1987)
Manna Khalil Al-Qattan.
Studi Ilmu-Ilmu Al-Quran. (Bogor: Litera Antar Nusa, 1996)
Ali Hasan al-‘Aridl.
Tarikh al-‘Ilm al-Tafsir wa Manahij al-Mufassirin. Terj. Ahmad Akrom. (Jakarta:
Raja Grafindo Persada, 1994)
Yunus Hasan. Tafsir
Al-Quran(Sejarah Tafsirdan Metode Para Mufasir), terj. Qodirun Nur, Ahmad
Musyafiq, (Jakarta: Gaya Media Pratama, 2007)
Muhammad Hasbi Ash
Shiddieqy. Sejarah &Pengantar Ilmu Al-Quran dan Tafsi.,(Semarang: PT.
Pustaka Rizki Putra, 1997)
Basri, Talhas Hasan.
Spektrum Sainfikasi al-Qur’an. (jakarta: Bale Kajian Tafsir al-Quran Pase,2001)
Rosihan Anwar. Ilmu
Tafsir. (Bandung : Pustaka Setia, 2000)
Muhammad Husein
al-Zahabi. Penyimpangan-penyimpangan dalam penafsiran al-Qur`an. Terj. Hamim
Ilyas , Machnun Husein. (Jakarta : Rajawali, 1991)
0 komentar:
Posting Komentar